JAKARTA -- Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah menilai bahwa reformasi Polri harus diarahkan kembali pada esensi utama lembaga kepolisian sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, bukan sekadar alat kekuasaan. Ia menegaskan bahwa masyarakat seharusnya patuh bukan karena takut pada polisi, melainkan karena adanya rasa empati, teladan, dan kepercayaan terhadap institusi tersebut.
“Peran polisi itu seharusnya tidak lagi pada tataran kekuasaan, tapi bagaimana publik merasa terayomi. Masyarakat patuh bukan karena takut, tapi karena empati dan rasa percaya,” ujar Trubus berbicara dalam forum diskusi Dialektika Demokrasi bertema "Reformasi Polri Harapan Menuju Institusi Penegakan Hukum yang Profesional dan Humanis", di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (13/11).
Trubus menyoroti sejumlah dinamika internal Polri yang dinilai membingungkan publik, termasuk polemik terbaru soal dugaan ijazah palsu pejabat kepolisian yang sempat ramai dibicarakan. Menurutnya, langkah-langkah reformasi yang dijalankan Polri kerap terhambat oleh inkonsistensi dan minimnya transparansi di tubuh institusi.
“Kalau ada pejabat baru langsung mengkritik soal ijazah palsu, lalu disangkal oleh pihak lain, ini justru menunjukkan masih lemahnya sistem internal dan komunikasi publik Polri. Reformasi Polri membutuhkan langkah yang revolusioner, yakni fokus pada pelayanan, bukan sekadar citra," ujarnya.
Ia menambahkan, berdasarkan survei Litbang Kompas terakhir, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri masih relatif tinggi, mencapai 70 persen. Namun angka itu sempat menurun pada beberapa periode sebelumnya, terutama saat muncul kasus-kasus yang menurunkan citra kepolisian.
“Survei menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap Polri fluktuatif. Ini menjadi catatan penting: bagaimana Polri bisa membangun kembali budaya yang adem, transparan, dan berorientasi pada publik,” sebut dia lagi. (ry)