![]() |
Ilustrasi Biznis Linggau |
MINGGU lalu, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman terlihat geram lantaran harga singkong di level petani anjlok. Bayangkan, singkong petani hanya dihargai Rp 1.000 sekilo.
Semarah-marahnya Mentan, mungkin lebih marah lagi para petani ubi kayu tersebut. Petani yang sudah berjerih payah menanam dan merawat singkong, berhujan berpanas, namun hasilnya tidak dihargai.
Kenapa harga singkong sampai semurah itu? Ternyata Mentan menyebut bahwa Indonesia saat ini dibanjiri oleh singkong impor yang dilakukan oleh pengusaha tepung. Terkait itu, Mentan Amran Sulaiman berjanji akan menindak tegas importir singkong yang lebih memilih produk singkong dari luar daripada hasil produksi petani dalam negeri.
Terlepas jadi atau tidaknya Menteri Pertanian menindak para importir singkong tersebut, yang pasti ini adalh kondisi miris yang dialami masyarakat Indonesia. Negara yang sejak dulu dikenal sebagai negara agraris, yang pada triwulan pertama tahun 2024, sekitar 28,64% penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian.
Bukankah singkong gampang tumbuh? Di manapun dicampakkan bisa dipastikan tumbuh dengan baik.
Perkebunan singkong dalam skala besar pun nyaris terdapat di hampir seluruh wilayah Indonesia, seperti Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan lainnya. Menurut data BPS, Lampung memiliki lahan perkebunan singkong mencapai 254 ribu hektar.
Dikutip dari website Pemerintah Provinsi Lampung, produksi singkong daerah itu pada 2022 lalu mencapai 6.719.088 ton. Jumlah ini sekaligus menempatkan Provinsi Lampung peringkat 1 nasional produk singkong.
Ini baru satu contoh daerah. Sebagaimana disebutkan di atas, banyak daerah yang memiliki kebun singkong dalam skala besar. Lalu, kenapa ubi kayu ini masih diimpor? Apakah singkong Indonesia tidak berkualitas? Atau ada permainan dari para importir?
Agaknya Mentan tidak cukup hanya marah, tapi harus dicari penyebab sesungguhnya. Jika memang singkong dalam negeri tidak berkualitas untuk pabrik-pabrik tepung, maka menjadi tanggung jawab dari Kementan membuat berkualitas. Tetapi jika ini hanyalah permainan para importir, maka saatnya mereka diberi tindakan tegas.
Dengan demikian, kita berharap ke depan hal-hal yang tidak patut diimpor, jangan diimpor juga. Kasihan para petani Indonesia yang berhujan berpanas setiap hari. Hargailah jerih payah dan tetesan keringat mereka. (Sawir Pribadi)