KASUS yang menimpa Kepala SMA Negeri 1 Cimarga, Kabupaten Lebak Provinsi Banten adalah satu dari sekian banyak kasus yang menimpa kepala sekolah atau guru. Hanya karena sedikit tamparan, cubitan dan sejenisnya, urusan menjadi panjang. Bahkan ada yang berlabuh ke ruang tahanan kepolisian.
Inilah situasi pendidikan hari ini. Guru-guru bagaikan berada di persimpangan jalan. Mau 'menghukum' murid yang keterlaluan dengan sedikit cubitan, ada Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Tidak dihukum, mereka keterlaluan.
Sebenarnya memberi sanksi kepada murid adalah dalam rangka mendidik. Mendidik agar anak-anak tidak nakal dan tidak manja. Agar anak punya disiplin. Tak ada niat menyakiti. Hanya saja, terkadang di antara guru ada yang lepas kontrol.
Menyanksi anak dengan hukuman fisik memang tidak dibolehkan. Di sekolah tidak boleh ada kekerasan. Sebaliknya itu tadi, membiarkan anak-anak dengan sikap bangkang, melanggar aturan sekolah serta membuat jengkel para guru tentu juga tak boleh. Sebab, sekolah bukan hanya tempat belajar, mengisi kepala, tapi juga tempat didikan, mengisi sanubari.
Di sinilah guru berada di persimpangan. Sebagai orangtua di sekolah, ia hanya boleh senyum-senyum saja, sekalipun ada yang terasa pahit dan getir. Ia tak boleh menghardik apalagi marah sampai menyentuh fisik.
Lalu, apa yang harus dilakukan sekolah? Surat perjanjian bermaterai sepertinya juga tak mempan. Diperlukan keseragaman aturan beserta sanksi pada seluruh sekolah.
Jika perlu di sekolah ada bagian khusus yang fungsinya menyidangkan murid yang dinilai nakal. Misal mamanya majelis kehormatan sekolah. Guru tinggal memberi laporan saja, kemudian disidik oleh majelis tersebut lalu disidang sebagaimana layaknya sidang pengadilan. Hukumannya mulai dari surat teguran hingga dikeluarkan dari sekolah. (Sawir Pribadi)