Faktual dan Berintegritas



UNTUK sementara masyarakat Indonesia bisa bernapas lega. Harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tidak jadi naik di 1 September kemarin.

Sebelumnya,  beberapa minggu menjelang pergantian Agustus dengan September, pemerintah telah memberi isyarat akan menyesuaikan harga BBM bersubsidi. Isyarat itu menimbulkan reaksi penolakan dari berbagai pihak. Bahkan massa buruh mengancam akan melakukan demo besar-besaran jika harga BBM dinaikkan.

Pada hari terakhir Agustus, masyarakat kian galau dengan rencana pemerintah tersebut. Apalagi di media sosial berseliweran info-info liar, di antaranya pemberlakuan harga baru BBM pada pukul 00.01 pada 1 September. Akibatnya terjadilah antrean panjang di berbagai stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

Masyarakat mengisi tangki kendaraan bermotor sepenuh tangki kendaraan. Seolah-olah BBM satu tangki penuh itu bisa menyelamatkan untuk pemakaian satu bulan. Semenjak siang SPBU semakin ramai oleh kendaraan bermotor. Hujan tidak menghalangi untuk antre.

Itu adalah gambaran bahwa setiap ada rencana pemerintah menaikkan harga BBM selalu menimbulkan panic buying. Setidaknya masyarakat masih ingin selalu mendapatkan BBM dengan harga lama.

Lebih dari itu, intinya masyarakat tidak ingin adanya kenaikan harga BBM. Sebab, beban hidup yang dipikul masyarakat sangat berat. Harga-harga kebutuhan hidup telah duluan mengalami kenaikan. Contoh sederhana saja telur yang di Jawa sudah lebih Rp33.000/kg. 

Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah di tengah beban negara yang juga kian berat menanggung subsidi? Apakah tidak boleh  melakukan penyesuaian harga BBM?

Boleh saja! Tidak ada larangan untuk itu. Namun yang perlu diperhatikan adalah psikologi masyarakat. Saat ini perekonomian masyarakat belum pulih benar dari dampak pandemi, lalu ditambah dengan beban kenaikan harga BBM, tentu akan menyengsarakan masyarakat.

Ada hal yang mengherankan, saat deras informasi kenaikan harga BBM bersubsidi, pemerintah justru melakukan langkah di luar prediksi, yakni menurunkan harga BBM nonsubsidi. Apakah ini strategi untuk memperkecil jarak harga BBM bersubsidi dengan nonsubsidi?

Bisa jadi, ketika nanti harga BBM bersubsidi dinaikkan, maka perbedaan dengan  BBM nonsubsidi tidak begitu jauh, maka sebagian masyarakat memilih yang nonsubsidi. Dengan demikian perlahan tapi pasti BBM bersubsidi tidak ada lagi.

Jika memang maksudnya demikian, maka kenaikan harga BBM bersubsidi tidak bisa dielakkan. Hanya saja pemerintah perlu lakukan strategi ibarat makan bubur panas, mulailah dari pinggir piring. Artinya jika menaikkan harga BBM sebagai satu-satunya solusi persoalan negara, maka jangan secara ekstrem. Lakukan secara berangsur-angsur. Mudah-mudahan dengan cara begitu masyarakat bisa memahami. Semoga! (Sawir Pribadi)

 
Top