Faktual dan Berintegritas



DALAM beberapa waktu terakhir, pemerintah makin gencar mengkampanyekan pemakaian kendaraan listrik. Bahkan, telah diwacanakan pula untuk kementerian dan lembaga pada 2023 mendatang akan menggunakan kendaraan listrik sebagai kendaraan dinas.

Kita tentu setuju-setuju saja dengan wacana dimaksud. Apalagi, Indonesia tidak mungkin terus menerus bergantung kepada energi fosil yang makin lama makin tergerus dan suatu ketika nanti akan kian tipis, lalu habis.

Melihat secara kasat mata hari ini, nyaris semua stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) disesaki oleh pemilik kendaraan bermotor. Tidak jarang ada yang kehabisan jenis BBM tertentu. Ini terjadi lantaran jumlah kendaraan yang terus bertambah hampir tak kendali.

Dikatakan pertambahan kendaraan hampir tak kendali, karena memang belum ada aturan baku yang membatasi setiap orang itu punya kendaraan berapa. Semakin tinggi harta kekayaan seseorang, semakin banyak kendaraannya, bahkan ada yang rumahnya laksana showroom mobil.

Sebaliknya, masyarakat ekonomi menengah juga banyak yang mempunyai kendaraan. Tak bisa memiliki kendaraan baru, kendaraan seken pun dipunyai. Tak peduli kendaraan itu produksi tahun berapa.

Artinya tidak ada pengaturan. Selain pengaturan batasan jumlah kepemilikan kendaraan, juga pengaturan usia sebuah kendaraan yang dimiliki. Di sini hanya berlaku selagi bisa jalan, kendaraan terus dipakai dan diperjual belikan.

Dengan keterbatasan sumber energi fosil tersebut, tentu sah-sah saja pemerintah berencana melakukan konversi kendaraan dari berbahan bakar minyak (BBM) ke tenaga listrik. Hanya saja sudah siapkah bangsa ini untuk rencana tersebut?

Ada yang mesti disadari bahwa konversi menuju ke kendaraan listrik itu tidak murah, melainkan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ada yang perlu disiapkan terlebih dahulu, seperti sarana dan prasarana pendukung. Misalnya tempat fasilitas pengisian energi, atau dalam bahasa awamnya tempat mengecas baterai kendaraan dimaksud. Sudahkah semua daerah punya Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU)?

Kalau sudah punya, berapa jumlahnya? Sebab, jika nantinya kendaraan listrik sudah banyak, jangan sampai ada pula antrean untuk pengisian daya listriknya. Atau yang lebih esktrem, kendaraan kehabisa energi di perjalanan, mau isi di mana? Adakah kios yang menyediakan tempat pengisian?

Satu hal lagi yang tidak kalah perlunya, konversi kendaraan BBM ke kendaraan listrik haruslah didukung oleh harga kendaraan yang terjangkau oleh masyarakat. Saat ini, harga kendaraan listrik jauh lebih mahal dibandingkan kendaraan kelas menengah.

Kita tentu tidak ingin program pemerintah melakukan konversi kendaraan ber-BBM ke kendaraan listrik sama nasibnya dengan kompor induksi. Diharapkan bisa mempermudah sekaligus menghemat biaya, justru tidak.

Oleh karena itu, selayaknya pemerintah tidak memaksakan diri untuk menerapkan kendaraan listrik secara terburu-buru. Lakukan saja secara perlahan, sehingga suatu ketika nantinya kendaraan listrik digandrungi masyarakat. Tapi ingat, selain fasilitas pendukung sudah lengkap, juga harga kendaraannya terjangkau dan jika perlu lebih murah dari kendaraan yang ada saat ini. Semoga! (Sawir Pribadi)

 
Top