HARI ini, adalah hari bersejarah bagi perkembangan bangsa Indonesia. Hari ini, 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Agaknya sekarang banyak di antara generasi baru yang tidak memahami tentang Hari Pendidikan Nasional. Kenapa harus ada pula peringatan demikian?
Sejarah Hardiknas sebenarnya berkaitan erat dengan sosok Ki Hajar Dewantara. Hardiknas salah satunya diperingati untuk mengenang pahlawan nasional bidang pendidikan ini, yakni mereka-mereka yang telah berjuang hingga tetesan darah penghabisan untuk kemajuan isi kepala serta kepribadian bangsa.
Hari Pendidikan Nasional ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur. Pada peraturan tersebut, Hardiknas ditetapkan bersama Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, Hari Angkatan Perang 5 Oktober, Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober, Hari Pahlawan 10 November, dan Hari Ibu 22 Desember.
Presiden pertama RI, Soekarno melalui Keppres ini menjelaskan, kendati Hari Pendidikan Nasional dan hari nasional dimaksud bukan hari libur, tetapi sudah selayaknya diperingati sebagai hari-hari yang bersejarah bagi seluruh bangsa Indonesia. Caranya yakni dengan mengadakan upacara di kantor, sekolah, atau tempatnya masing-masing.
Selaras sejarah dimaksud, apa yang terjadi hari ini? Apakah buah dari pendidikan nasional itu sudah menjadikan generasi bangsa terdidik?
Ingat, pendidikan nasional bukan semata untuk kepintaran otak anak-anak bangsa, melainkan jauh lebih dari itu. Pendidikan nasional lebih terintegrasi dengan kepribadian, akhlak, moral, budi pekerti, karakter, sosial kemasyarakatan dan lain sebagainya. Sedangkan untuk isi otak lebih kepada pengajaran.
Hari ini, terkadang kita miris dengan realita yang terjadi. Sebagian di antara guru tak berdaya dalam mendidik anak. Mereka dihadapkan pada dilematis yang cukup rumit. Akhirnya, pendidikan hari ini sepertinya hanya sebatas belajar tentang ilmu-ilmu, tanpa mempedulikan kepribadian, akhlak, sikap sosial anak-anak dan lain sebagainya.
Lihatlah, betapa banyaknya kasus tawuran yang dilakoni para pelajar di Tanah Air. Tidak sedikit kasus kriminal yang melibatkan anak-anak sekolah. Rasa hormat kepada orang yang lebih tua sudah pudar, rasa segan dan malu pun telah luntur, seolah-olah ini bukan lagi bangsa ketimuran.
Khusus di Minangkabau contohnya, pendidikan juga sudah mengabaikan kearifan lokal. Agaknya anak-anak generasi sekarang tidak mengenal tatakrama dalam berkehidupan bermasyarakat. Mereka tidak paham dengan kato nan ampek; kato mandaki, kato manurun, kato malereang dan kato mandata.
Lalu, apa yang mesti dilakukan agar pendidikan di negeri ini selalu berjalan secara baik, sehingga anak-anak generasi penerus makin punya kekuatan cinta dan rela berkorban pada tanah air. Salah satu yang harus dilakukan adalah menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti atau moral di jenjang pendidikan dasar dan lanjutan. Selain itu, memberikan kepercayaan kepada guru sebagai tenaga pendidik, bukan sekadar tenaga pengajar. Beri mereka otoritas yang diikat dengan aturan untuk memberi reward dan punishment kepada peserta didik, minimal dengan kode etik.
Mudah-mudahan dengan cara itu, anak-anak generasi bangsa ini bisa lebih terdidik. Bukan hanya pintar, tapi juga mempunyai semangat kebangsaan yang dibungkus etika dan moral di samping ilmu agama tentunya. Semoga! (Sawir Pribadi)