PADANG -- Sudah 80 tahun Indonesia merdeka, tidak jaminan semua rakyat merasakan nikmat kemerdekaan itu. Di suatu tempat bernama Parit Sigalangan, Kecamatan Koto Balingka, Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar) kisah pilu datang dari seorang ayah bernama Rudi Hartono (46).
Hidupnya jauh dari kata layak. Bersama seorang istri dan sepuluh orang anak, Rudi harus menjalani hari-hari dalam keterbatasan. Pekerjaannya hanya sebagai pengumpul barang bekas dari kampung ke kampung.
Pagi buta ia berangkat, menyusuri jalan demi jalan dengan langkah letih. Satu per satu botol plastik, kardus, hingga besi tua ia pungut untuk dijual. Semua itu hanya untuk memastikan ada makanan sederhana yang bisa disantap anak-anaknya.
Namun, meski kerja keras sudah dilakukan, kehidupannya tetap terasa gelap. Beberapa tahun ini, ia tidak pernah menerima bantuan sosial dari pemerintah. Bahkan raskin pun tidak ia rasakan.
“Mungkin saya bukan dianggap rakyat Indonesia lagi, Pak. Tapi KTP saya ada, kok. Untuk makan pun susah. Apalagi untuk sekolah anak-anak saya ini,” ucap Rudi dengan suara bergetar, Selasa (19/8).
Ia merasa terabaikan. Seolah kemerdekaan yang dimeriahkan dengan gegap gempita setiap tahun itu hanyalah panggung hiburan bagi orang lain. Sedangkan dirinya, tetap terbelenggu oleh kemiskinan.
Rumahnya berdinding papan lapuk, dengan lantai tanah yang basah ketika hujan tiba. Atapnya bocor, membuat keluarga ini harus rela tidur berdesakan di pojok ruangan agar tidak kehujanan.
“Sudah berpuluh kali orang-orang datang minta KTP kami dan KK. Katanya mau ada bantuan dari pemda. Tapi sampai sekarang, cuma janji-janji palsu. Apalagi kalau mau pemilu. Kami ini cuma diperalat,” ujar istrinya dengan suara lirih.
Perempuan itu bahkan sempat melontarkan doa getir. “Mungkin pak wali dan pak camat lupa sama warga miskin seperti kami,” tambahnya.
Kesedihan keluarga ini bukan hanya soal perut yang sering kosong, tapi juga soal masa depan. Sepuluh anak mereka terancam putus sekolah karena tak ada biaya. Sementara teman-teman sebayanya sudah bisa belajar dengan tenang, anak-anak Rudi hanya bisa membantu orang tuanya bekerja.
“Kalau ada bantuan sekolah, tentu anak-anak saya bisa ikut belajar. Tapi apa daya, Pak, semua janji tinggal janji. Kadang saya merasa percuma punya KTP, percuma ikut pemilu,” ungkap Rudi lagi, menundukkan kepala.
Tokoh masyarakat Parit Sigalangan, Rangkuti, mengaku tahu kondisi keluarga Rudi ini. Ia merasa prihatin karena tidak ada perhatian nyata dari nagari, hingga kecamatan.
“Mereka sudah lama hidup seperti ini. Tapi tidak pernah ada uluran tangan pemerintah yang benar-benar hadir. Padahal sudah berkali-kali data mereka diambil. Miris sekali,” ujarnya.
Ia bahkan menyindir keras kondisi kemerdekaan hari ini. "Merdeka itu tampaknya cuma bagi pejabat dan orang-orang besar saja. Kalau rakyat kecil seperti mereka, mungkin lebih senang hidupnya jika Belanda yang berkuasa. Setidaknya dulu, ada kerja tapi juga ada makan.”
Kisah Rudi Hartono dan keluarganya menjadi potret buram perjalanan bangsa. Delapan puluh tahun merdeka, tetapi masih ada rakyat yang seakan tidak merasakan arti kemerdekaan. Mereka hidup dalam luka, menunggu uluran tangan yang entah kapan akan benar-benar datang. (aft)