Faktual dan Berintegritas

Suharyono 

PADANG -- Aksi demo masyarakat Air Bangis, Pasaman Barat di kantor gubernur Sumbar beberapa waktu berbuntut panjang. Sedikitnya delapan orang yang diduga sebagai penggerak demo tengah dikejar polisi.

Kapolda Sumbar Irjen Pol Suharyono mengakui pihaknya kini memburu delapan orang yang diduga memprovokasi aksi unjuk rasa warga Air Bangis tersebut. "Ada delapan orang yang sudah kami periksa juga, mereka rata-rata pemilik lahan yang spektakuler. Ada yang memiliki 70 hektar di hutan milik negara, ada yang memiliki 15 hektar, 20 hektar, 10 hektar dan yang paling kecil 7 hektar. Itu mereka yang memimpin pergerakan ini, karena mereka takut isunya adalah proyek strategis nasional (PSN), kalau ada PSN pasti tanahnya disita untuk negara. Siapa yang bilang?" kata Suharyono di Masjid Raya Sumbar, Jumat (11/8).

Suharyono mengatakan, proyek strategis nasional ini masih dalam usulan dan belum terjadi apa-apa. Kalau kawasan hutan sejak tahun 1921 sudah menjadi kawasan hutan yang  itu dilindungi. Di situ ada atas nama negara, ada koperasi resmi, undang-undang jelas, aturannya jelas, nomor perizinan jelas dari pusat, pemprov dan Pemkab sudah jelas.

"Kalau mereka masyarakat yang sudah terlanjur‎ panen, panen saja, kenapa sih. Gak akan kita tangkap, dengan catatan, ya kalau selama ini memang ada keleluasaan dari pemerintah yang mengizinkan, silahkan panen, di atas hutan milik negara ini yang sudah diklaim sejak tahun 1975, tahun 1985. Kalau saya bicara sejarahnya panjang," ujar Suharyono.

Dikatakan, pihaknya sudah setuju dengan seluruh Forkopimda untuk memperbolehkan masyarakat memanen di sana. Tapi masyarakat yang membuat ribut persoalan ini, merupakan masyarakat pendatang, masyarakat setempat dari Air Bangis, buktinya juga melakukan unjuk rasa dan menolak kalau yang berunjuk rasa itu mengatasnamakan Air Bangis, bukan. Bukan seluruhnya warga Air Bangis.

"Karena itu pemilik-pemilik yang 70 hektar, 25 hektar, 20 hektar, 15 hektar , 10 hektar itu bukan masyarakat Air Bangis, bukan masyarakat Pasaman Barat. Mereka masyarakat pendatang dari luar provinsi, datanya sudah ada di kami. Ya, maaf kita tidak menyebut, nanti jadi gaduh. Tapi sudah ada di kami semua," katanya.

Dikatakannya, saat pihaknya melakukan tindakan tersebut, yang penting apa, siapa yang bekerja di lahan milik negara itu, coba,  pihaknya tidak membela siapa koperasi‎ dan bagaimana prosedurnya.

"Kami hanya menyarankan agar menjadikan legalitas itu. Orang yang menggarap milik lahan negara, kemudian hasilnya dijual ke koperasi milik negara, atas nama negara, 70 persen untuk petaninya, 30 persen untuk koperasinya, aman," ujarnya.

Dia juga mengatakan, akan tetapi kenyataannya yang bermain di sana, pengepul-pengepul tersebut, yang saat ini berhadapan dengan kepolisian. Pengepul itu melarang yang memanen lari ke koperasi yang legalitasnya jelas. Mereka menarik semua itu karena apa, mereka sudah membayar di depan, mau tidak mau, petani menjual hasil panen ke mereka.

"Kami akan menangkap semua pengepul, akan menangkap semua ya disitu, orang-orang yang melakukan hambatan-hambatan‎ untuk kepentingan dia pribadi. Bayangkan masyarakat, menanam, mengelola tanaman sawit bukan pada lahannya, kalau ditanya lahan mana, kalau kamu pendatang yang baru lima tahun lalu. Ini sudah ada yang 100 tahun, sampai ninik mamak, sampai ada kedatuan, sampai tanah adat milik dia, pendatang juga sama. ‎ Ini benturan sebenarnya terjadi antara komunal atau kelompok yang pendatang dan penduduk asli. Kami sedang menindak pendatan-pendatang yang tidak bertanggungjawab ini yang merambah tanaman sawit perenam bulan, saat panen dia datang, manen, saat panen dia datang, panen," tegasnya.

Terakhir Suharyono mengatakan, pihaknya sudah mengantongi seluruh identitas pelaku ini, yang bukan masyarakat setempat.

"Kami mohon maaf, sebenarnya ini internal untuk kami penegak hukum ini. Tapi kami buka sekarang ini, boleh dibuktikan dalam pemeriksaan kami, siapa saja dibalik itu. Delapan orang sudah kami datakan, kalau kami tangkap,orangnya ada di Aceh satu, coba, berarti kabur, melarikan diri, ada juga terdeteksi ini penggeraknya," tambahnya.

"Ada juga pendananya, bayangkan Rp300 juta  untuk gerakan seperti itu, darimana kalau bukan ada donatur. Donaturnya siapa?, ya pemilik 70 hektar itu yang menjadi donatur. Ya dia sekali panen bisa mendapat Rp2 miliar hingga Rp3 miliar kok. Kalau Rp25 juta sampai Rp100 juta itu kecil, inilah yang sebenarnya terjadi. Tapi kami sudah meluruskan ini sampai ke semua kementerian, lembaga, sampai kami japri semua, dan akhirnya beliau-beliau mengapresiasi. Saya menjadi bangga untuk tetap menegakkan hukum karena sudah didukung oleh pemerintah pusat, hanya cara kami akan lebih tegas, terukur, tetapi juga akan humanis. Jangan sampai terjadi lagi masyarakat bermalam-malam di suatu tempat. Kalau memang di hari pertama itu kemudian bermalam-malam tidak ada izin, harus dibubarkan di hari pertama itu juga. Maaf mengajak anak-anak, wanita hamil dan renta juga pelanggaran hukum, melanggar HAM juga untuk mereka. Kemarin komnas ham sudah datang dan kami jelaskan itu, beliau mengapresiasi dari komnas ham pusat waktu di pemprov kemarin," tutupnya. (sgl)

 
Top