Faktual dan Berintegritas


PADANG, SWAPENA -- Puluhan massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pesisir Selatan Bergerak (AMPSB) menggelar aksi di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumbar, Kamis (7/10). Mereka meminta kejelasan soal eksekusi terhadap Bupati Pessel, Rusma Yul Anwar yang proses peradilannya sudah inkrah sejak Februari lalu.

Koordinator aksi tersebut, Hamzah Jamaris mengatakan eksekusi yang seharusnya sudah dilakukan sejak jauh hari ternyata sampai saat ini belum juga dilakukan. Menurutnya kalau bupati terpidana dibiarkan tetap memimpin maka akan banyak hal yang tidak berjalan normal. "Proses peradilan sudah inkrah sejak Februari lalu, tapi sudah delapan bulan berlalu belum juga eksekusi," kata Hamzah kepada wartawan, kemarin.

Harusnya, kata Hamzah, pihak kejaksaan dan kepolisian bisa mengatasi kalau memang ada penghalangan eksekusi oleh massa pendukung bupati. Dia pun heran, kenapa pihak berwenang tidak bisa mengatasi ini. Bukan bermaksud mengintervensi Kejati, namun pihaknya meminta kejelasan soal hal tersebut.

"Poin inti, kapan kepastian eksekusi? Jawaban itu yang ingin kami dapatkan hari ini. Kami berharap eksekusi bisa disegerakan agar kepemimpinan di Pesisir Selatan bisa stabil, tanpa ada lagi gejolak di masyarakat," katanya.

Dia juga mengatakan, jika belum ditemukan jawaban pasti atas pelaksanaan eksekusi ini maka AMPSB akan menempuh jalur lain, dengan menyampaikan permasalahan ini ke Kejagung RI. 

Dalam aksi tersebut disampaikan tiga hal yang dimuat dalam surat pernyataan sikap, yakni meminta Kejati Sumbar agar menegakkan hukum di Pesisir Selatan dengan seadil-adilnya tanpa pandang bulu, meminta Kejati Sumbar untuk segera eksekusi bupati berstatus terpidana, dan kemudian meminta kepastian Kejati Sumbar untuk melakukan eksekusi terhadap pengrusak hutan lindung manggrove di Pesisir Selatan.

Sementara itu, Asisten Intelijen Kejati Sumbar, Mustaqfirin yang menerima kedatangan massa tersebut mengatakan, proses hukum terhadap Rusma Yul Anwar memang sudah berjalan hingga sistem peradilan pidananya sudah inkrah. Namun saat akan dilakukan eksekusi ada penghalangan dari massa pendukung yang bersangkutan. 

"Bukan kami tidak melakukan eksekusi, tapi keputusan mengurungkan eksekusi untuk menghindari konflik yang lebih besar. Apalagi saat itu suasana semakin panas, kalau tetap dilaksanakan eksekusi maka potensi datangnya massa akan semakin banyak," kata Mustaqfirin.

Dia mengatakan, keputusan untuk mengurungkan eksekusi saat itu untuk menenangkan massa, apalagi juga dengan kondisi Covid-19 yang masih tinggi dikhawatirkan juga akan menimbulkan klaster baru. "Eksekusi itu kita urungkan, bukan dibatalkan," tegasnya.

Dia menambahkan, terkait eksekusi ini, terpidana Rusma Yul Anwar sempat mengajukan Peninjauan Kembali, tapi ditolak, dan hasilnya menguatkan putusan Pengadilan Tinggi. "Kajari setempat juga sudah bertekad untuk menuntaskan permasalahan ini," pungkasnya.

Diketahui juga sebelumnya, Rusma Yul Anwar divonis majelis hakim 1 tahun, dengan denda Rp 1 miliar dan subsider 3 bulan oleh Pengadilan Negeri Kelas IA Padang. Putusan pada tingkat pertama tersebut, lebih ringan dari tuntutan JPU 4 tahun denda Rp 5 miliar dan subsider 12 bulan kurungan. Selain itu, dalam kasus ini Rusma Yul Anwar juga mengajukan banding hingga kasasi.

Dalam dakwaan JPU dijelaskan, kejadian ini bermula pada Mei 2016 hingga 2017. Terdakwa membeli sebidang tanah seluas tiga hektar, pada tahun 2016. Dua bulan kemudian dimulailah pembangunan di kawasan Mandeh dan pelebaran jalan serta perairan laut, dari satu meter menjadi empat meter, yang panjangnya sekitar tiga puluh meter.

Di lokasi itu sudah dibuat fasilitas jalan dan pembangunan perumahan. Dimana aktifitas berdampak dan berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan.  Berdasarkan data lapangan dan citra satelit, akibat tindakannya telah merusak hutan mangrove seluas 0,79 hektar. (why/sgl)

 
Top