Faktual dan Berintegritas


TRAGEDI Stadion Kanjuruhan Malang, Provinsi Jawa Timur telah berlalu beberapa hari. Sebanyak 131 orang dinyatakan meninggal dunia dalam peristiwa tersebut dan banyak pula yang mengalami luka-luka, baik luka berat maupun luka ringan.

Bagi para korban, jelas tidak akan mudah melupakan tragedi itu. Walau ada yang dinyatakan sudah sembuh dari cedera, namun secara psikis akan tetap berbekas. 

Begitu juga bagi keluarga korban meninggal, sampai kapanpun tidak akan bisa melupakan. Siapa sih yang bisa melupakan anak atau anggota keluarga yang sudah meninggal, apalagi meninggalnya dalam suatu tragedi yang mengerikan. Seberapa pun santunan yang diberikan oleh pemerintah atau pihak-pihak lain, dipastikan tidak akan sanggup mengobati luka di batin pihak keluarga. 

Kanjuruhan adalah peristiwa kelam dan mengerikan dalam sejarah sepakbola di Indonesia, bahkan di dunia. Stadion di Malang itu yang selama ini tidak begitu dikenal di Indonesia, kini menjadi buah bibir di dunia akibat tragedi dimaksud.

Lalu, siapa yang salah dan patut dipersalahkan? Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah mengumumkan 6 tersangka, di antaranya terdapat dari unsur Polri.

Sementara Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) masih terus bekerja untuk mengungkapnya. 

Perlu diketahui bahwa sejak tragedi Itu terjadi, berat tudingan ke aparat kepolisian yang pada malam insiden itu menembakkan gas air mata kepada penonton yang memasuki lapangan hijau.  Kita tentu masih berpraduga tak bersalah dalam kasus ini. Walau sudah ada sejumlah anggota polisi dan puluhan saksi yang diperiksa, lalu masuk dalam daftar tersangka namun itu tetap saja oknum.

Lalu bila memang polisi yang bersalah, maka kian turunlah marwah kepolisian di mata masyarakat. Sebab sebelumnya polisi terseret dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua, yang melibatkan sejumlah jenderal dan kasusnya kini telah dilimpahkan ke kejaksaan. Akibat kasus yang satu itu saja sudah banyak cibiran masyarakat kepada polisi, apatah lagi ditambah dengan tragedi Kanjuruhan.

Ini baru kasus besar. Belum lagi kasus-kasus kecil yang melibatkan oknum anggota polisi. Sekali lagi kita menyebutnya sebagai oknum.

Lalu, jika sudah begitu apakah Polri tidak akan melakukan pembenahan secara menyeluruh? Sebaiknya Kapolri segera memperbaiki jajarannya dan mereformasi institusi secara menyeluruh. Jika tidak, maka kepercayaan terhadap Polri akan kian terkikis. Ayo, jadikan pengalaman sebagai cambuk untuk bangkit, bukan meratapi diri. Semoga ke depan Polri makin profesional dan dicintai masyarakat. Semoga! (Sawir Pribadi)

*Tulisan ini telah terbit di Harian Singgalang, Jumat, 7 Oktober 2022.

 
Top