Faktual dan Berintegritas


MENTERI Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyoroti banyaknya pegawai honorer yang berasal dari tim sukses dan keluarga pejabat di daerah. Lebih parah lagi, di antara pegawai honorer tersebut tidak punya keahlian khusus.

Sebenarnya hal demikian banyak terjadi di daerah-daerah, baik kabupaten, kota maupun provinsi. Artinya, jika banyak tenaga honorer dari tim sukses dan pihak orang-orang terdekat dari kepala daerah bukan lagi hal yang aneh.  Justru menjadi aneh, jika tidak ada honorer dari kedua pihak tersebut.

Kenapa demikian? Jawabannya adalah balas jasa. Tim sukses adalah pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pemenangan kepala daerah. Mau digaji berapa mereka yang jumlahnya ratusan orang?

Tanpa menutup mata, tim sukses adalah orang-orang yang juga punya keluarga dan tanggungan. Walau di antara calon kepala daerah menyatakan bahwa mereka adalah para relawan, tanpa digaji dan lain sebagainya, namun ketika sang calon kepala daerah sudah terpilih, lalu di antara tim sukses datang pula minta tolong, bagaimana tidak menolong? Dibantu dengan uang, berapa bisa terbantu? Maka salah satu solusi adalah menerima mereka atau keluarga mereka sebagai tenaga honorer. Tak ada yang dilanggar, memang.

Ya, menerima seseorang atau beberapa orang sebagai tenaga honorer selagi dukungan keuangan memadai memang tidak salah. Persoalannya akan tiba, ketika tenaga honorer bersangkutan tidak punya keahlian.

Mendagri Tito Karnavian menyebut tenaga honorer itu terbagi 3 jenis yaitu spesialis tenaga kesehatan, guru, dan tenaga administrasi. Untuk jenis tenaga honorer bidang administrasi, rata-rata berisi dari tim sukses atau keluarga dari pejabat daerah. Mereka juga kerap pulang lebih cepat dari waktu kerjanya atau dikenal makan gaji buta alias magabut atau gabut.

Disadari atau tidak, tenaga honorer di daerah cenderung bertambah. Ketika kepala daerah atau pejabat berganti, akan masuk kembali tim sukses baru menjadi tenaga honorer, sementara yang sebelumnya tidak berhenti seiring habisnya masa jabatan kepala daerah bersangkutan. Akibatnya menumpuklah tenaga honorer dan makin bengkaklah beban keuangan daerah yang belanja pegawainya bergantung dari transfer pusat.

Oleh karena itu, bila memang daerah kabupaten, kota maupun provinsi mau menerima tenaga honorer, ukur dulu kemampuan keuangan. Tenaga honorer yang diterima sebaiknyalah yang punya keahlian khusus. Jangan cuma karena mau membalas jasa atau membalas budi dari orang-orang yang dianggap telah ikut berjuang selama masa proses pilkada dan lain sebagainya. Atau jangan hanya karena yang bersangkutan berasal dari keluarga, karib kerabat atau faktor pertemanan. Pokoknya tenaga honorer yang ditolong jangan sampai seperti membuang garam ke lautan. Tidak ngaruh! (Sawir Pribadi)

 
Top