Faktual dan Berintegritas


Bocah-bocah imut berpakaian tradisional Minangkabau  itu menari dengan lincah. Tubuh mereka meliuk gemulai.

Hari itu mereka dapat kepercayaan menyambut tamu dengan Tari Pasambahan. Tiga orang bocah lain berdiri di antara para penari. Salah satu di antaranya membawa carano berisikan siriah.

Langkah demi langkah tertata dengan baik dari ketiganya mendekati rombongan tamu yang datang. Aksi mereka semuanya tak kalah dengan para penari remaja dan dewasa.

Begitulah pemandangan di kantor walinagari Kinali, Kecamatan Kinali, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat beberapa waktu lalu. Mereka adalah anak-anak pendidikan usia dini di nagari itu.

Tampilnya anak-anak itu tentulah melalui latihan yang terukur sebelumnya. Ini sangat patut diapresiasi.

Anak-anak adalah aset besar negara. Mereka ibarat kaset atau flash disc yang kosong. Apapun yang direkam pasti bisa diputar kembali.

Menanamkan budaya tradisional kepada mereka tentulah salah satu upaya melestarikan budaya tersebut. Bagaimana mereka mampu mencintai dan memiliki budaya lokal atau budaya tradisional mereka sendiri.

Jika tidak demikian, bisa-bisa pada suatu ketika mereka akan merasa asing dengan budaya tradisi mereka sendiri. Malah sebaliknya, mereka justru merasa bangga dengan budaya asing yang masuk tanpa disaring.

Kenyataan sekarang memang banyak  begitu. Didukung kemajuan teknologi, setiap hari anak-anak menyaksikan tayangan budaya luar, sehingga asing dengan budaya sendiri.

Budaya Minangkabau  tentulah milik anak-anak Minang. Budaya tradisi tersebut jangan sampai punah. Anak-anak Minang tidak boleh merasa aneh melihat atau menyaksikan tradisi dimaksud.

Karenanya, adalah tanggung jawab semua pihak untuk melestarikan budaya tradisional Minangkabau tersebut. Terutama generasi Minangkabau harus diperkenalkan dengan budaya tersebut agar mereka bisa mencintainya. Bukanlah peribahasa mengatakan 'tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta'. (sawir pribadi)
 
Top