Faktual dan Berintegritas

Ilustrasi 


KEMENTERIAN Ketenagakerjaan melaporkan, jumlah pengangguran di Indonesia saat ini mencapai 7,28 juta orang. Jumlah sebanyak itu terdiri atas berbagai latar belakang pendidikan, mulai dari SD, SMP, SMA/SMK hingga sarjana.

Berdasarkan siaran pers Badan Pusat Statistik (BPS) per-Februari 2025, tingkat pengangguran berada di angka 4,76% dari angkatan kerja RI. Angka itu naik sekitar 1,11% atau sebesar 83,45 ribu orang.

Kita tentu merasa khawatir juga dengan kenaikan angka tersebut. Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi pemicunya  antara lain terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) pada usia produktif, bertambahnya jumlah lulusan perguruan tinggi yang tidak punya skill atau mereka yang berharap kerja sesuai latar belakang pendidikan.

Diakui atau tidak, dalam beberapa waktu belakangan terjadi PHK yang cukup besar pada sejumlah perusahaan. Di antara mereka terdapat orang-orang berusia produktif kerja. Pasar di berbagai daerah mulai sepi, toko-toko pada tutup, sehingga para karyawannya tidak bekerja lagi.

Di lain pihak, perguruan tinggi terus menelorkan sarjana dan diploma. Tamatan sekolah mulai dari SD, SMP dan SMA/SMK tidak semuanya bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Kenyataan ini menambah panjang deretan pengangguran.

Lalu, apa langkah pemerintah? Haruskah angka pengangguran dimaksud semakin panjang di tengah sulitnya lapangan kerja?

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan, pengangguran menjadi salah satu pekerjaan rumah (PR) besar bagi Indonesia. Solusi utama dalam mengatasi pengangguran ialah kondisi supply dan demand.

Kita bisa saja setuju dengan Menteri Ketenagakerjaan ini. Namun di lain pihak, dunia pendidikan harus berpikir lebih keras lagi agar sekolah tidak memproduksi pengangguran.

Adalah saatnya di jenjang pendidikan menengah disiapkan tenaga terampil, sehingga ketika tamat, generasi muda tidak hanya berharap menjadi pekerja, melainkan menciptakan lapangan kerja. Tidak hanya di SMK, melainkan juga di SMA harus bisa menciptakan tamatan siap pakai dengan memberikan peserta didik keterampilan.

Jika hari ini arah pendidikan Indonesia berfokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pemerataan akses pendidikan, peningkatan kualitas pembelajaran, dan penguatan pendidikan karakter, maka perlu dimasukkan keterampilan yang mumpuni sesuai kemajuan dunia saat ini. Maksudnya agar saat selesai di jenjang sekolah lanjutan, tidak musti terlalu berharap masuk perguruan tinggi. Apalagi biaya masuk dan biaya pendidikan di perguruan tinggi banyak yang tidak terjangkau masyarakat.

Saat pendidikan tinggi tak terjangkau itulah generasi tidak masuk ke alam pengangguran, melainkan berada di dunia kerja sendiri sesuai skill yang diperoleh di bangku sekolah menengah. Mudah-mudahan pemerintah membuka mata hati terhadap arah pendidikan di negeri ini. Satu lagi, jangan ada lagi gonta ganti kurikulum yang pada akhirnya membuat bingung, baik guru peserta didik hingga orangtua dan masyarakat. Semoga! (Sawir Pribadi)
Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama
 
Top