PADANG -- Berdasarkan temuan lapangan dan dialog dengan masyarakat serta pemerintah daerah, Ombudsman RI menyampaikan beberapa saran yang dapat menjadi fokus pemerintah dalam memperkuat efektivitas penanganan bencana di Sumatera Barat (Sumbar). Hal ini ditegaskan Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika didampingi Kepala Perwakilan Ombudsman Sumbar, Adel Wahidi, dalam jumpa pers di kantor Ombudsman, Jumat (12/12).
Saran tersebut antaranya, penetapan satu data kebencanaan yang konsisten dan terverifikasi. Pemerintah perlu menetapkan satu data kebencanaan yang digunakan oleh seluruh instansi—BPBD, PU, PLN, Kominfo, Dinas Sosial, dan pemerintah nagari.
"Data wilayah terisolasi sebaiknya diperbarui melalui verifikasi lapangan harian, sehingga tidak terjadi perbedaan informasi yang dapat menghambat prioritas penanganan ataupun distribusi bantuan. Konsistensi data merupakan syarat dasar transparansi dan efektivitas koordinasi," katanya.
Ia mengatakan, percepatan pembukaan akses darat pada titik-titik kritis merupakan kunci mobilitas warga dan distribusi logistik. Karena itu, pemerintah perlu mempercepat pembukaan akses di titik prioritas, seperti Jorong Lambe di Agam dan Lembah Anai di Tanah Datar, melalui penambahan alat berat serta penetapan target waktu pemulihan yang dilaporkan secara berkala kepada publik.
"Pembukaan akses yang lebih cepat, akan berdampak langsung pada pemulihan layanan dasar dan stabilitas kebutuhan pokok," tambahnya.
Selanjutnya, penataan ulang sistem distribusi logistik, agar tidak bergantung pada jalur udara. Ketergantungan pada helikopter untuk mendistribusikan bantuan sangat rentan terhadap kondisi cuaca.
Pemerintah perlu membangun buffer stock logistik di titik-titik aman dan memperkuat jalur distribusi darat alternatif, agar LPG 3 kg, pupuk bersubsidi, beras, dan bahan pokok lainnya tetap tersedia dan terjangkau. Penataan ulang ini memastikan keberlanjutan layanan publik dalam situasi darurat.
Berikutnya, penguatan koordinasi dan alur informasi antar instansi. Koordinasi yang baik antara PU, BPBD, PLN, Kominfo, Dinas Pendidikan, dan pemerintah nagari, menjadi kunci untuk menghindari kesalahpahaman di lapangan. Informasi terkait pembukaan akses, jadwal pemulihan, status jaringan listrik atau telekomunikasi, serta distribusi bantuan harus disampaikan secara konsisten dan terjadwal, agar masyarakat memperoleh kepastian.
Percepatan pemulihan layanan dasar dalam kerangka waktu 7–14 hari. Untuk itu, listrik darurat (genset), telekomunikasi (BTS mobile), air bersih, serta sarana pendidikan darurat perlu dipulihkan dalam rentang waktu terukur, yakni 7 hingga 14 hari, dengan prioritas pada wilayah yang terisolasi. Pemulihan layanan dasar adalah indikator utama akuntabilitas negara dalam situasi tanggap darurat.
Selanjutnya, penanganan darurat irigasi Gunung Nago dan Koto Tuo sebagai prioritas pangan. Irigasi di Kapalo Koto dan Lambung Bukit mempengaruhi ribuan hektare sawah. Pemerintah perlu memastikan material Geobag tersedia segera dan mempercepat intervensi teknis untuk stabilisasi alur sungai. Keterlambatan pemulihan irigasi akan berdampak langsung pada ketahanan pangan dan pendapatan petani.
Pemulihan ekonomi warga melalui padat karya dan dukungan modal mikro. Untuk menjaga keberlanjutan ekonomi masyarakat terdampak, pemerintah perlu mengaktifkan program padat karya ringan, memberikan dukungan modal mikro, dan memastikan petani yang kehilangan masa tanam mendapatkan kompensasi melalui skema AUTP atau mekanisme khusus pascabencana. Pendekatan ini menjaga daya beli dan menekan dampak sosial-ekonomi lanjutan.
Berikutnya, pendampingan khusus bagi warga yang harus direlokasi. Bagi warga yang rumahnya berada di zona rawan bencana, pendampingan harus mencakup dukungan administrasi, kepastian lokasi hunian baru, dan bantuan sosial selama masa transisi. Pendekatan yang terencana akan mengurangi ketidakpastian dan memperkuat rasa keadilan dalam proses relokasi. (hn)