Faktual dan Berintegritas

Eddy Soeparno (CNBC Indonesia)

JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menegaskan bahwa Indonesia saat ini tidak lagi berada pada fase perubahan iklim, melainkan telah memasuki tahap krisis iklim. Kondisi tersebut menuntut percepatan transisi energi menuju sumber energi terbarukan guna menjaga keberlanjutan lingkungan sekaligus ketahanan ekonomi nasional.

Hal itu disampaikan Eddy dalam acara Refleksi Akhir Tahun yang digelar di Ruang Delegasi Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (29/12). Kegiatan tersebut menjadi laporan publik atas kerja-kerja MPR RI selama setahun terakhir, khususnya dalam isu energi terbarukan, kemandirian energi, lingkungan hidup dan krisis iklim.

“Saya sudah tidak mau lagi menggunakan istilah perubahan iklim. Hari ini kita sudah berada di tahap krisis iklim, satu tingkat di atas perubahan iklim dan satu tingkat di bawah bencana iklim,” ujar politikus dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Eddy memaparkan, meski pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan tren positif, bahkan telah melampaui 5 persen pada kuartal sebelumnya, tantangan besar masih membayangi sektor energi. Indonesia, kata dia, sejatinya memiliki sumber daya energi yang sangat melimpah, baik energi fosil maupun energi terbarukan.

“Cadangan gas dan batu bara kita sangat besar. Batu bara bahkan bisa diproduksi hingga ratusan tahun ke depan. Di sisi lain, potensi energi terbarukan seperti tenaga surya, panas bumi, air, angin, dan arus laut tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia,” kata Eddy.

Namun, di tengah keberlimpahan tersebut, Indonesia masih bergantung pada impor energi untuk kebutuhan sehari-hari, mulai dari bahan bakar minyak (BBM), LPG, hingga diesel. “Ini paradoks energi yang harus segera kita akhiri. Salah satu jawabannya adalah transisi energi,” tegasnya.

Menurut Eddy, pengembangan energi terbarukan tidak hanya akan mengurangi ketergantungan impor, tetapi juga menghadirkan sumber energi yang bersih, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Hal ini sejalan dengan arah ekonomi global yang kini menitikberatkan pada konsep ekonomi berkelanjutan.

Ia juga menyoroti dampak nyata krisis iklim yang kini dirasakan masyarakat, seperti cuaca ekstrem, curah hujan yang tidak menentu, banjir, dan panas ekstrem. Dalam beberapa waktu terakhir, hujan dengan intensitas tinggi di Sumatera, Jawa Tengah, dan Bali telah memicu bencana yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat, infrastruktur, dan perekonomian. (ry)

 
Top