Faktual dan Berintegritas

Ilustrasi. 

     Bangsa Indonesia tengah memperingati Hari Sumpah Pemuda. Tahun ini adalah peringatan yang ke-91.
     Sebagaimana layaknya peringatan hari besar dalam sejarah bangsa Indonesia, Hari Sumpah Pemuda pun selalu diperingati dengan upacara. Para pejabat hingga staf paling rendah tumpah ke lapangan untuk upacara. Anak sekolah pun dikerahkan agar terlihat lebih meriah.
    Sejak dahulu memang begitu tradisi di Indonesia. Kepala daerah menjadi inspektur upacara, lalu berpidato.
     Pidato-pidato pejabat selaku inspektur upacara senantiasa menyinggung sejarah. Bagaimana kelompok-kelompok anak muda yang menyatukan diri di tahun 1928 untuk perjuangan mencapai kemerdekaan.
      Begitulah serenonialnya. Hal seperti itu selalu berulang dan berulang terus. Kalaupun ada tambahan, paling ziarah ke taman makam pahlawan.
     Pertanyaannya, sudahkan cita-cita persatuan yang dikumandangkan pada 28 Oktober 1928 itu teraplikasikan secara utuh saat ini? Ataukah sebaliknya, persatuan itu tengah terancam?
     Kita tentu tidak mau berandai-andai, namun coba sejenak kita membuka sosial media yang saat ini menjadi bagian dari gaya hidup anak bangsa. Apa yang bisa kita lihat tentang aplikasi persatuan sebagaimana ruh dari Sumpah Pemuda dimaksud.
     Bila diamati secara saksama, beda pendapat dan beda pilihan dalam demokrasi seakan terjadi blok-blok pada pemuda. Padahal, demokrasi itu baru akan hidup dan bergairah kalau ada beda pendapat. Kalau sama saja pendapat anak bangsa ini, maka tak perlulah demokrasi. Ujung-ujungnya tak perlu pemilihan umum, pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah.
     Lebih dari itu, banyak di antara pemuda hari ini yang sulit nove on terhadap beda pilihan. Padahal, pemilihan presiden sudah berlalu dan presiden terpilih pun telah mengucapkan sumpah. Presiden dan wakil presiden juga sudah mulai bekerja, namun masih ada yang sulit untuk move on.
     Apa yang terjadi pada prosesi pemilihan presiden berpotensi terjadi pada pemilihan kepala daerah serentak 2020 nanti. Hanya saja, skalanya lebih kecil dibandingkan pemilihan presiden yang baru lalu.
     Ini adalah indikasi masih banyak di antara anak bangsa ini kurang memahami makna Sumpah Pemuda. Mereka cuma tahu bahwa Sumpah Pemuda itu hanyalah seremonial dan upacara di lapangan terbuka. Padahal bukan itu. Bagaimana anak bangsa ini memahami perbedaan untuk menjadi modal persatuan. Satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air, yakni Indonesia.
     Karena itu, mari kita jadikan Sumpah Pemuda sebagai paku dan pengikat persatuan bangsa. Jangan cuma sekadar upacara. Hal-hal yang akan mengancam perpecahan, mari sama-sama kita lawan. Ingat, kita adalah satu, jangan mau diceraiberaikan oleh hal-hal kecil yang tidak penting. Semoga ke depan bangsa ini lebih jaya. Semoga! (sawir pribadi)
 
Top