Faktual dan Berintegritas

Kemacetan di Sitinjau Lauik 

LEBARAN Idul Fitri 1444 H tinggal beberapa hari lagi. Berbagai persiapan telah dilakukan oleh masyarakat. Sebab, Idul Fitri adalah identik dengan pesta oleh sebagian orang.

Begitu juga masyarakat Sumatera Barat yang mayoritas beragama Islam, jelas akan lebih menyiapkan segala sesuatu untuk Idul Fitri. Buktinya, sekarang pasar tradisional hingga pasar modern sudah disesaki oleh masyarakat yang berbelanja untuk keperluan lebaran. Bermacam yang dibeli, mulai dari kebutuhan dapur hingga pakaian dan aksesoris.

Tak cukup dengan pasar tradisional, toko hingga swalayan, pedagang dadakan pun muncul di berbagai tempat, rata-rata di pinggir jalan. Kondisi demikian menimbulkan kemacetan dan kerawanan pada sejumlah titik.

Sudah menjadi tradisi bagi sebagian masyarakat bahwa Idul Fitri seakan ‘wajib’ dengan hal-hal yang serba baru. Tidak hanya baju atau pakaian baru, tetapi segala yang di ruang tamu sepertinya perlu baru, gorden dan kursi tamu misalnya. Begitu juga dengan cat rumah diperbarui.

Selain masyarakat, pemerintah juga sudah melakukan berbagai persiapan untuk menghadapi lebaran 1444 H. Kepolisian, TNI, Dinas Perhubungan hingga Dinas Kesehatan menyiapkan personel untuk pengamanan selama masa lebaran, terutama H-7 hingga H+7. Tujuannya tentu untuk memberi rasa aman dan nyaman pada masyarakat yang merayakan lebaran.

Lalu, apakah lebaran tahun ini akan berhias horor juga di jalan raya? Terutama jalan ke destinasi wisata, biasanya mengalami macet parah hingga ada yang tidak bergerak.

Melihat fakta pada lebaran-lebaran sebelumnya, setiap lebaran, kemacetan memang menjadi persoalan pelik. Masyarakat berhabis waktu di jalan. Berharap menikmai keindahan panorama kawasan wisata, yang ditemukan hanyalah kejenuhan di tengah jalan.

Padang-Bukittinggi misalnya yang dalam kondisi normal biasa ditempuh 2,5 jam, pada lebaran bisa mencapai 6 jam bahkan lebih. Kemacetan nyaris terjadi di sepanjang jarak 98 kilometer itu.

Perlu diketahui, kemacetan terjadi selain karena jalan yang sempit juga akibat perilaku pengendara yang tidak mau sabar. Mereka seolah ada yang merasa bangga bila bisa menyalip dan menyusup di tengah kemacetan. Jika perlu ambil lajur berlawanan yang berakibat jalan tersumbat. Kebiasaan seperti ini selalu terjadi.

Pertayaannya, sudah siapkah pihak-pihak terkait untuk hal seperti contoh tersebut? Apakah petugas hanya akan memantau di poskotis saja?

Agaknya petugas perlu melakukan pemantauan setiap saat di jaur-jalur rawan macet. Jika ada pengendara yang bertingkah laku aneh, menyalip hingga melawan arah, perlu diberi tindakan tegas. Bila perlu kandangkan saja kendaraan mereka selama masa lebaran.

Jika pemerintah dan pihak terkait yakin pemberlakuan one way jalur Padang-Bukittinggi dengan memanfaatkan Sicincin-Malalak, maka keyakinan itu perlu diawasi secara ketat. Sebab, perilaku pengendara di Sumatera Barat banyak yang seenak perut saja. Selagi tidak ada petugas, mereka akan berbuat sesukanya, tanpa mempedulikan pengendara lain.

Satu hal lagi terkait risiko bencana longsor. Selama ini jalur Sicincin-Malalak sangat rawan. Begitu juga wilayah lain seperti Sitinjau Lauik, Kelok 44, jalur Padang Lua-Maninjau, lintas Padang-Tapan, Bukittinggi-Lubuk Sikaping dan lain sebagai. Siapkah pihak terkait dengan early warning system-nya?

Bagaimanapun, libur lebaran tahun ini harus lebih baik dan lebih berkualitas dari tahun-tahun sebelumnya. ‘Penyakit’ yang dialami di tahun-tahun lalu, jangan kambuh lagi pada lebaran sekarang. Semoga semua pihak merasa aman dan nyaman dalam berlebaran. Terutama para perantau mendapatkan kesan positif selama berada di ranah Minang. Jangan ada lagi perdapat yang mengatakan bahwa horor jalan di Jakarta dipindahkan ke Sumatera Barat. Semoga! (Sawir Pribadi)


 
Top