Faktual dan Berintegritas


Bagian 1

Ranah Minang kaya akan tradisi dan budaya. Tiap ranah atau nagari punya budaya tersendiri. Dalam pribahasa disebut "lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya".

Budaya-budaya lokal tersebut akan terlihat pada berbagai momen. Misal pada acara baralek, kematian, turun mandi, akikah, hari-hari besar keagamaan, atau alek nagari dan lain sebagainya.

Sadar atau tidak, makin lama tradisi-tradisi lokal Minangkabau itu satu persatu mulai hilang. Salah satu di antaranya adalah tradisi mengantar zakat fitrah. 

Pada sejumlah nagari atau kampung di Kabupaten Solok, dulunya setiap orang yang mengantar zakat fitrah ke masjid atau surau memakai ketiding kecil hitam. Di dalam ketiding rotan tersebut isinya adalah beras sebagai kewajiban, zakat fitrah. Jumlahnya tentu sesuai jumlah jiwa yang berzakat.

Selain beras, ada lagi isi ketiding, yakni makanan tradisional yang dibikin menjelang masuknya Idul Fitri. Di antara jenis makanan itu adalah lamang, pinyaram, kambang loyang atau ada juga galamai dan lai sebagainya. Salah satu dari makanan tradisional itu masuk ke dalam ketiding dan ditaruh pada bagian atas beras, yang disebut sebagai 'bungo pitah' atau bunga fitrah.

Makanan tradisional itu adalah untuk amil atau panitia zakat. Ada yang disantap sebagai pabukoan bersama di masjid atau surau dan ada pula yang dibawa pulang.

Kini semua itu boleh dikatakan tidak ada lagi. Orang berzakat fitrah tidak lagi terbatas pada beras melainkan sudah dalam bentuk uang. Kalaupun ada yang bawa beras, 'bungo pitah' tak ada lagi. Sebab, yang bikin makanan tradisional juga sudah jarang. Sekarang yang dibuat adalah kue-kue aneka ragam. Bahkan tinggal order! (Sawir Pribadi)

 
Top