Faktual dan Berintegritas


INI hanya sepenggal kisah di masa kecil, era 70-an. Masa yang jauh dari kemajuan tentunya.

Apalagi kala itu hidup di kampung, jangankan teknologi, untuk penerangan malam saja cuma lampu togok. Kalaupun ada yang lebih, paling lampu petromak alias sterongkeng berbahan bakar minyak tanah.

Perkara sterongkeng atau stromkeng ini biayanya besar. Selain pakai minyak tanah juga dibakar dengan spiritus. Belum lagi kaus yang tiap sebentar robek atau jatuh sendiri. Sesekali brandasnya tersumbat atau jarum bengkok, patah dan lain sebagainya. Pokoknya itu adalah alat penerangan milik orang kaya ketika itu.

Ah sudahlah itu jadi cerita lain saja. Kali ini cerita puasa Ramadhan dan kelelawar. Apa hubungannya?

Hubungannya sebagai pertanda masuknya waktu berbuka puasa atau magrib. Apabila kelelawar telah berterbangan, maka waktu berbuka puasa sudah masuk.

Untuk diketahui, di kampung ketika itu, kebanyakan kelelawar bersarang di daun dan pucuk pisang yang belum mengembang. Tentu ada pula di pohon kayu dan sebagainya.

Adalah pada suatu sore, udara mendung sangat kelam. Sepertinya akan turun hujan. 

Dari dapur tercium aroma kolak pisang yang dimasak emak. Wuih ini kesukaan saya benar. Menetes air liur dibuatnya.

Yang namanya anak-anak ketika itu, makin sore pasti mau cepat saja berbuka. 

Karena kelelawar belum juga terlihat ada yang terbang, sementara langit sudah gelap, maka dicarilah rumpun pisang tempat bergelantungan kelelawar. Tanpa pikir panjang, dihoyaklah batang pisang tersebut sehingga kelelawarnya berterbangan ke mana-mana. "Babuko laiiii...." Teriak saya sambil berlari ke atas rumah papan dan menyambar pinggan kanso.

Tapi apa yang terjadi, telinga saya kena jantiak oleh bapak. Hahaha (Sawir Pribadi)

 
Top