Faktual dan Berintegritas

    Ilustrasi

TELAH bersuluh matahari, bergelanggang mata orang banyak, nilai-nilai adat dan budaya di tengah masyarakat Minangkabau makin menurun. Sudah banyak masyarakat yang mengabaikan tatakrama dan tidak lagi menjaga lisan hingga perbuatan. 

Kondisi demikian bukan saja melanda generasi baru, tetapi juga orang-orang dewasa yang semestinya menjadi contoh dalam kehidupan sehari-hari. Demi materi, adab, adat dan nilai-nilai budaya dilindas begitu saja. Rasa malu hilang tertutup lembaran rupiah, materi dan lain sebagainya. Miris!

Ya, kita sangat miris dengan realita kehidupan masyarakat sekarang. Lihatlah di media sosial, orang-orang tiada gentar lagi berkata kasar hingga bercarut dan nengeluarkan kata-kata kotor. Lebih memiriskan lagi, hal demikian juga diucapkan kaum perempuan. Padahal kita tahu bahwa fitrah perempuan itu punya rasa malu yang sangat tinggi, tetapi hari ini banyak yang bercarut dan berkata kasar di media sosial dan itu pakai bahasa Minang.

Kita memang tidak mau menggeneralisir kejadian demikian. Namun setidaknya ini cukup sebagai gambaran bahwa rasa malu di sebagian orang Minang telah tipis jika tidak boleh dikatakan hilang. Padahal selama ini, di Minangkabau selalu diajarkan kato nan ampek; kato mandaki, kato manurun, kato mandata dan kato malereang. Jangankan bercarut atau menyebut-nyebut nama dan istilah aurat di depan orang banyak, di dalam kamar saja sepasang suami-istri tidak mau bicara yang vulgar. Begitu orang-orang Minang terdahulu menjaga marwah, harkat, martabat dan kehormatan mereka.

Lalu, apa yang salah hari ini? Apakah karena hubungan dalam keluarga banyak yang sudah renggang dan direnggangkan pihak ketiga? Atau pendidikan formal yang tak lagi mengajarkan tentang budi pekerti, budaya dan tatakrama berkehidupan sosial? 

Bisa jadi keduanya turut andil memicu makin terdegradasinya nilai-nilai moral dan budaya di tanah beradat ini. Pihak ketiga yang menjadi faktor merenggangkan hubungan dalam keluarga salah satunya adalah gawai atau ponsel pintar. Lihatlah keseharian anak-anak sekarang sibuk dengan ponsel. Cobalah hitung perbandingan durasi komunikasi orang tua-anak dengan komunikasi ponsel-anak dalam sehari. Setiap saat, yang masuk ke kepala anak adalah apa yang ada di media sosial dan itulah yang ditiru.

Bukan hanya anak-anak remaja, anak-anak balita pun sudah diasuh oleh ponsel. Kalau mereka menangis, didiamkan dengan ponsel, anak malas makan, ditemani dengan ponsel, anak mau tidur dikeloni oleh ponsel. Semua dengan ponsel. 

Jika dari kecil anak-anak sudah dibiasakan dengan ponsel, maka adalah wajar apa yang mereka tonton, yang mereka lihat dan mereka baca pada ponsel akan mempengaruhi psikologi, cara pikir dan cara berujar mereka. Akibatnya seperti tadi, adab, adat dan tata nilai dalam kehidupan nyata lama kelamaan menjadi hilang.

Oleh karena itu, kata-kata miris saja tak cukup. Peran orang tua, mamak hingga sekolah sangatlah penting untuk memperbaikinya. Ubah cara dan pola asuh anak ke jalan yang benar. Ajarkan anak sopan santun. Bagaimana bicara di depan umum, bagaimana berujar dengan rambu-rambu, jangan sampai  rata saja semuanya. Intinya ajarkan anak-anak kita dengan kato nan ampek tersebut. Bagaimana berujar kepada orang yang lebih tua, kepada yang lebih muda, kepada teman sebaya dan kepada sumando atau tunganai.

Mari kembalikan Minangkabau kepada orang Minang, jangan biarkan anak-anak Minang tidak berkeminangan, baik di media sosial maupun di kehidupan nyata. Mau bikin konten di media sosial, silahkan, tapi jangan yang mencederai adab, adat dan budaya Minang. Semoga ke depan kita tak lagi mendengar caruik dan kata-kata kotor di media sosial hingga kehidupan nyata. Semoga! (Sawir Pribadi)
 
Top