Faktual dan Berintegritas

Alirman Sori  

JAKARTA  Swapena -- Menanggapi wacana amandemen konstitusi UUD 1945, Anggota MPR RI dari unsur DPD RI, Alirman Sori mengatakan, jika hanya soal pokok-pokok haluan negara (PPHN) tidak perlu melalui amandemen. Ia berpendapat cukup dengan merevisi UU 17 Tahun 2007 tantang RPJP dan UU SPPN 24 Tahun 2004.

Melakukan koreksian terhadap UUD 1945 yang telah mengalami perubahan empat kali, pada dasarnya adalah ingin membongkar ketidakadilan persamaan hak-hak asasi manusia. "Makanya  jika ingin melakukan amandemen konstitusi harus melalui pengkajian secara konprehensif dengan menelaah pasal demi pasal, sehingga dapat memberikan jaminan untuk penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik," katanya di Jakarta, Senin (20/9).

Dikatakan, perubahan yang dilakukan tidak perlu terburu-buru. Perlu kajian yang mendalam, sehingga batang tubuh konstitusi bisa memuat norma-norma yang terintegrasi. "Kita harus akui  empat kali amandemen yang dilakukan belum menjawab kebutuhan bangsa. Untuk itu sangat diperlukan adanya koreksian untuk penyempurnaan konstitusi," tersng Alirman Sori.

Koreksian perubahan yang harus dilakukan adalah menata fungsi dan kewenangan lembaga-lembaga negara. Karena kondisi saat  ini ada kewenangan yang dimiliki satu lembaga yang berada dalam satu rumpun tidak berimbang, bahkan cenderung menafikan kewenangan lembaga lain.

Alirman Sori mencontohkan, sistem parlemen Indonesia harus dipertegas dan harus dilakukan verifikasi fungsi, tugas dan wewenang seperti MPR, DPR dan DPD sehingga tidak menimbulkan konflik horizontal ketika menjalankan tugas konstitusional antar lembaga. Penataan  lembaga legislatif  hal yang sangat diperlukan untuk   penyempurnaannya, sehingga terwujud  parlemen yang efektif.

Salah satu penataan yang diperlukan  seperti MPR adalah soal keangotaan MPR Pasal 2 (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

"Pasal 2 ayat (1) ini sangat tidak relevan, karena keanggotaan MPR yang diikat personel keangotaan,   seharusnya  ikatan itu secara kelembagaan, keangotaan MPR tediri atas DPR dan DPD, bukan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD," tegas Senator Asal Sumatera Barat ini.

Penataan lain yaitu terkait fungsi, tugas dan wewenang DPR dan DPD yang nilai tidak efektif. Ketentuan yang mengatur tentang DPR sangat kuat dan luas, sementara DPD sangat terbatas dan sumir.

Dikatakan Alirman, dalam suatu negara demokrasi seperti Indonesia sangat diperlukan sistem check and balance yang berimbang antar lembaga negara dalam melaksanakan tugas konstitusional. "Jangan ada ketimpangan yang jauh di antara lembaga negara dalam menjalankan tugasnya, mesti harus ada  keseimbangan. Boleh dibatasi ruang lingkupnya, tetapi dalam kontek fungsi check and balance harus dibangun prinsip kesetaraan lembaga," ujar Alirman Sori.

Penataan fungsi dan kewenangan DPR dan DPD harus menjadi agenda amandemen. Jika tidak, anggota MPR dari unsur DPD tidak perlu mendukung amandemen, karena penataan fungsi dan kewenangan  DPR dan DPD, bukan kepentingan dua lembaga ini, tetapi adalah kepentigan nasional dan daerah (bangsa dan negara). "Jika penataan DPD tidak menjadi angenda, lebih baik DPD dibubarkan, daripada menjadi beban negara," tegas senator Alirman Sori lagi.

Selain penataan lembaga MPR, DPR dan DPD, menurut putra Pessel ini, juga sangat diperlukan  pengkajian  sistem pemilu atau demokrasi, sistem pemilihan presiden/wakil presiden dan persyaratannya, pemilhan kepala daerah dan hal-hal terkait dengan hak-hak asasi manusia.

Ia juga berharap memulai bicara soal amandemen jangan didahului dengan kecurigaan. Perubahan konstitusi tidak akan mungkin liar, karena ketentuan yang mengatur tentang perubahan di pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat  (4) dan ayat (5) sangat jelas dan pelaksanaan sangat rigit. "Untuk itu mari kita mulai rencana amandemen  dengan sikap negarawan dan saling percaya," ajak Alirman. (rel)

 
Top