Faktual dan Berintegritas


PERSOALAN minyak goreng di Indonesia semakin panas saja. Ia panas sebelum masuk kuali di atas tungku berapi.

Sudah hitungan bulan masyarakat benar-benar harus berjuang keras agar bisa mendapatkan satu liter atau satu kilogram minyak goreng. Ada yang rela antre berjam-jam di depan minimarket atau di tempat-tempat yang menyediakan minyak goreng dengan harga terjangkau.

Jika seorang ibu rumahtangga antre berjam-jam, berapa banyak pekerjaan yang ia tinggalkan di rumah atau di tempat bekerja. Bayangkan jika ibu rumahtangga tersebut punya balita, alangkah menderitanya sang anak yang ditinggalkan.

Ini baru satu sisi. Belum lagi pada sisi yang lain. Umpamanya pedagang gorengan yang salah satu bahan utamanya minyak goreng, alangkah terganggunya usaha mereka. Tak ada minyak goreng pasti usaha mereka terhenti  Ketika mereka coba membeli minyak dengan harga mahal, jelas akan berakibat tekor pada usaha mereka.

Di lain pihak, pemerintah terkesan kurang serius jika tidak boleh disebut tidak serius dalam menyelesaikan persoalan minyak goreng ini. Buktinya hingga sekarang minyak goreng tambah panas. Jika awalnya langka, sekarang justru harganya menjadi mahal, karena dikembalikan ke harga pasar.

Menteri Perdagangan yang diundang oleh DPR dua kali mangkir, hingga pihak DPR harus mengeluarkan "ancaman" untuk memanggil paksa sang menteri hanya untuk persoalan minyak goreng ini. Untung saja kemarin Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi hadir di Komisi VI DPR RI dan menjelaskan segala sesuatu terkait persoalan minyak goreng tersebut.

Lalu bagaimana ke depannya? Perlu diketahui bahwa minyak goreng adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Pemerintah tidak bisa menganggap persoalan ini sebagai hal sepele. Ini sangat serius!

Karena persoalannya serius tentu pihak-pihak terkait juga harus serius menanganinya. Minyak goreng yang dulu langka, sekarang  menjadi mahal agaknya bukanlah pemecahan masalah, melainkan tambah masalah baru. Mungkin analoginya sama dengan "memasukkan masyarakat ke dalam minyak goreng panas".

Dalam kondisi begini masyarakat berharap minyak goreng murah didapat dan murah harganya. Bukankah negeri ini dikelilingi kebun sawit? Maka selayaknyalah hal itu bisa membuat masyarakat bahagia. Hanya dengan minyak goreng yang tidak langka dan harga murah masyarakat bisa menikmati kebun sawit tersebut.

Mudah-mudahan saja, pemerintah bersama unsur terkait mampu mencarikan solusi lebih bijak dalam masalah ini. Bukan sebaliknya menambah runyam persoalan. Pengembalian ke harga pasar perlu ada pengawasan yang ketat oleh pemerintah agar pedagang tidak semuanya saja.  Semoga! (Sawir Pribadi)

 
Top