Faktual dan Berintegritas


MINYAK goreng. Di kampung saya disebut minyak manih. Entah apa asal muasalnya disebut minyak manih, tak ada argumen yang sahih.

Walau demikian, bisa dikira-kira atau diduga-duga saja. Karena di antara banyak jenis minyak, barangkali inilah yang bisa untuk makanan, maka disebut minyak manih. Entahlah!

Minyak manih menjadi salah satu kebutuhan pokok. Tidak saja bagi orang kampung saya, tapi bagi seluruh rakyat Indonesia Sabang sampai Merauke. Tak ada rumah tangga yang tidak butuh minyak goreng.

Kini, minyak goreng langka dan itu sudah berlangsung cukup lama. Anehnya lagi, setelah langka terbit pula mahal. 

Jika awalnya sangat sulit mencari minyak goreng di pasar dan minimarket, timbullah antrean luar biasa pada operasi pasar atau di tempat yang masih ada stok. Eh, saat pemerintah mengatakan bahwa harga minyak goreng kemasan diserahkan pada pasar. Detik itu juga, minyak goreng langsung tersedia di minimarket, laksana anai-anai bubuih dari sarangnya. Harganya pun waw, mahal.

Masyarakat kembali menjerit histeris. Tadi langka, sekarang mahal. Jika cuma minyak goreng saja yang mahal agaknya tak masalah, sekarang justru hampir semua kebutuhan pokok mahal. Sebutlah daging, ayam, telur, gula, cabai, bawang dan lain sebagainya. Sementara pendapatan masyarakat masih terganggu oleh pandemi Covid-19 yang belum berakhir.

Lalu, apa akal masyarakat? Bisa alternatif lain kata orang bijak seperti gulai, palai, rebus, uwok, bakar, tumis, cangkuak, sambalado, sampadeh dan lain-lain. Benar! Namun siapa yang akan tahan itu ke itu saja?  Tak percaya, cobalah makan abuih kentang agak lima hari bertirit-tirit.

Yang paling parah, apakah bisa pedagang gorengan tidak pakai minyak goreng? Rasanya tak akan bisa pedagang gorengan beralih ke jualan rebusan. 

Inilah ironi negeri subur yang dipenuhi kebun sawit, masyarakatnya kesulitan mendapatkan minyak goreng. Jikapun ada, harganya begitu mahal. Kesudahannya minyak manis tak lagi manis. Terasa pahit di kantong dan kelat di kerongkongan. (Sawir Pribadi)

 
Top