Faktual dan Berintegritas



PUKUL 09.30 WIB, Senin (6/2) bus warna merah merek dinding Pangeran berangkat dari kantor PWI Sumbar di Jalan Bagindo Aziz Chan, Padang. Ada sedikit kegamangan dari sang driver untuk masuk Jalan Sudirman, sehingga ia ambil ancang-ancang mau belok kanan ke arah Tarandam.

"Ndak usah belok, lanjut sajalah teriak salah seorang. Kalau disetop polisi, ini wartawan semua," cegah beberapa orang penumpang seperti dikomando.

Memang, penumpang bus merah menyala dengan liveri Jam Gadang itu adalah wartawan pengurus PWI Sumbar dan Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia (IKWI)-nya. Tujuannya adalah Kota Medan, Sumatera Utara untuk menghadiri puncak peringatan Hari Pers Nasional  (HPN) 2023.

Bus kemudian meluncur membelah jalan protokol. Musik karaoke menghentak hingga ke rongga dada. Satu persatu wartawan yang merasa bisa menyanyi menyambar mikrofon, lalu menatap layar video cukup lebar di bagian depan. Teks-teks nyanyi di layar pun diiringi dan itupun seperti berpacu antara suara dengan musik. Biarlah, yang penting berhibur.

Bus terus membelah jalan raya menuju Bukittinggi. Makan dulu di sebuah rumah makan kawasan Aia Angek, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, dilanjutkan Shalat Zuhur dijamak dengan Ashar.

Semua beres, bus melaju kembali menuju Kota Bukittinggi. Mampir di pool sejenak selanjutnya bus merah menyala itu meliuk-liuk mulai dari Padang Hijau lanjut Lubuk Sikaping. 

Sore semakin rendah. Sebagian penumpang bus kelihatannya sudah terlihat letih, lalu memanfaatkan fasilitas lebih dari Bus Pangeran tersebut, yaitu leg rest alias tempat bersiunjur.

Sandaran kursi lebih direbahkan ke belakang, leg rest dinaikkan. Maka bersiunjurlah sebagian penumpang sambil terus menikmati musik.

Sementara itu, beberapa yang lain menggapai selimut merah, lalu merebahkan dua kursi dan jadilah tidur seperti di rumah bako. "Kini lo wak bisa menikmati ko nyo," kata Science Asra.

Berkaraokelah yang di depan sepuas-puasnya, yang tidur akan tetap tidur berkeluntun selimut.

Lubuk Sikaping telah tinggal, perbatasan Sumbar pun telah dilewati. Bus mulai merangkak menapaki aspal yang berlobang-lobang. Beda sekali dengan jalan di wilayah Sumbar. 

Selepas Mandailing Natal (Madina), memasuki Tapanuli Selatan, menjelang magrib terlihat puluhan santri beriringan menuju masjid. Hal yang sudah jarang terlihat di sejumlah kampung tentunya. Teringat kebiasaan semasa kecil dulu, beramai-ramai ke surau dengan memakai sarung. Sehabis mengaji pulang memakai suluh daun kelapa.

Malam mulai jatuh, usai Shalat Magrib yang dijamak dengan Isya  serta makan malam di sebuah rumah makan kawasan Kotanopan, bus kembali membelah malam. Guncangan demi guncangan akibat jalan yang berlobang, tak lagi terasa. Karena semua larut dengan tidur berselimut merah.

Musik karaoke telah berganti dengan musik biasa yang lebih mendayu seakan melelapkan semua penumpang. Lampu penerangan di kabin bus pun dimatikan, maka tinggallah beberapa orang saja lagi yang terus menikmati hentakan bus di jalan berlobang. (Sawir Pribadi)

 
Top