Faktual dan Berintegritas

 


JAKARTA, Swapena - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan oleh Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Solok Nomor Urut 1 Nofi Candra dan Yulfadri. Dengan demikian, pasangan Epyardi Asda-Jon Firman Pandu sah menjadi bupati dan wakil bupati Solok, tinggal menunggu pelantikan.

Demikian amar Putusan Nomor 77/PHP.BUP-XIX/2021 terkait perkara Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Bupati Solok Tahun 2020 yang dikutip dari situs resmi Makhamah Konstitusi mkri.id. “Amar putusan mengadili, dalam eksepsi menyatakan menolak eksepsi Termohon dan Pihak Terkait untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Anwar Usman didampingi oleh para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan secara daring dari ruang sidang pleno MK, Senin (22/3).

Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams membacakan pertimbangan hukum Mahkamah yang menanggapi dalil Pemohon terkait adanya pengurangan suara Pemohon dengan cara merusak suara sah, Pemohon oleh petugas KPPS sehingga menjadi suara tidak sah yang terjadi di beberapa TPS di Kabupaten Solok. Setelah Mahkamah memeriksa bukti-bukti berupa formulir Model D Hasil Kecamatan KWK dan tidak tampak bentuk tidak sahnya surat suara. Pemohon  juga tidak dapat menguraikan dengan jelas proses dugaan terjadinya pengurangan suara Pemohon dengan cara merusak suara sah Pemohon oleh petugas KPPS.

“Selain itu, Pemohon juga tidak mengajukan keberatan pada TPS-TPS yang didalikan tersebut. Hal ini bersesuaian dengan fakta yang terungkap dalam persidangan bahwa semua saksi Paslon yang hadir  menerima hasil penghitungan suara di seluruh TPS dan menandatangani Berita Acara dan Sertifikat Hasil Penghitungan Perolehan Suara serta tidak ada yang menyatakan keberatan dalam pelaksanaan pemungutan dan penghitungan hasil suara. Mahkamah tidak mendapatkan bukti dan fakta hukum yang meyakinkan mengenai telah terjadinya kecurangan atau pelanggaran berupa pengurangan suara di seluruh TPS sebagaimana didalilkan oleh Pemohon,” ucap Wahiduddin.

Kemudian, Mahkamah menjelaskan mengenai dalil Pemohon mengenai banyak pemilih yang mencoblos dua kali di TPS 4 dan TPS 6 Desa Nagari Aripan Kecamatan X Koto Singkarak serta di TPS 8 Nagari Selayo Kubung. Mahkamah tidak menemukan alat bukti surat/tulisan dan keterangan saksi yang meyakinkan dan berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Termohon pada TPS 8 Nagari Selayo Kecamatan Kubung terjadi kekeliruan petugas KPPS 4 yang kurang teliti dalam  memeriksa formulir Model C.Pemberitahuan Pemilih Nomor Urut 161 yang seharusnya memilih di TPS 10 tetapi memilih di TPS 8, namun telah dilakukan konfirmasi oleh petugas KPPS ke TPS 10 bahwa pemilih Nomor Urut 161 tidak memilih di TPS 10.

“Selain itu, berdasarkan hasil pemeriksaan formulir Model C.Hasil-KWK, semua saksi pasangan calon menandatangani dan menyetujui formulir Model C.Hasil-KWK/Berita Acara dan Sertifikat Hasil di Tempat Pemungutan Suara, serta tidak ada satu pun saksi pasangan calon yang menandatangani formulir Model C.Kejadian Khusus dan/atau Keberatan-KWK/Catatan Kejadian Khusus dan/atau Keberatan Saksi dalam penghitungan suara di tempat pemungutan suara. Dengan demikian, menurut Mahkamah, sesuai dengan alat bukti dan fakta tersebut, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum,” urai Wahiduddin.

Wahiduddin melanjutkan Mahkamah juga tidak menemukan bukti yang meyakinkan terkait dalil pemohon tentang adanya praktik politik uang secara terstruktur, sistematis dan masif. Hal ini sejalan dengan keterangan Bawaslu Kabupaten Solok yang tidak pernah menerima laporan atau temuan dugaan peristiwa terkait janji program bedah rumah. “Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon tersebut  tidak beralasan menurut hukum,” ujarnya.

Sebelumnya, Perkara PHP Bupati Solok Nomor 77/PHP.BUP-XIX/2021 diajukan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 1 Nofi Candra dan Yulfadri selaku Pemohon yang mendapat selisih suara sebanyak 814 dengan Paslon 2, yakni Epyardi Asda dan Jon Firman Pandu (Pihak Terkait) berdasarkan penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU Solok. Dalam  permohonannya, pemohon mendalilkan  pengurangan suara yang dialami dengan cara merusak surat suara sah oleh KPPS sehingga menjadi surat suara tidak sah, serta banyak pemilih yang mencoblos dua kali yang melibatkan petugas KPPS serta persoalan terkait tidak profesionalnya KPU. 

Selain itu, Pemohon juga mempersoalkan tentang perbedaan jumlah pengguna hak pilih dalam DPT antara pemilih dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatra Barat Tahun 2020 untuk penghitungan hasil suara di Kabupaten Solok dengan dengan pemilihan bupati dan wakil bupati Kabupaten Solok 2020 serta politik uang yang yang masif terjadi dan laskar merah putih dijadikan simbol kebal hukum dari paslon 2 serta keberpihakan 74 Wali Nagari.(*)

 
Top