Faktual dan Berintegritas


JAKARTA, SWAPENA -- Gerakan terorisme maupun paham-paham radikal itu ada dan terus ada sebagai sebuah pemahaman, karena dalam konteks Islam modern, maupun Islam tradisional gerakan terorisme adalah Islam sempalan yang sesungguhnya hanya sedikit. Sehingga, terorisme ini memang harus dilihat dalam konteks politik, kemudian juga bagaimana peran media, kemiskinan dan keamanan internasional.

Pendapat ini disampaikan Anggota MPR RI dari Fraksi PKS, Nasir Djamil berbicara dalam Diskusi Empat Pilar MPR bertajuk 'Vaksinasi Empat Pilar Lawan Transformasi Kelompok Terorisme' di Media Center Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/12).

Nasir melihat sebagian orang berpendapat terorisme itu secara umum hadir ketika adanya tekanan politik oleh rezim yang berkuasa, adanya ketidakadilan dan jurang pemisah yang begitu lebar antara si kaya dan si miskin. Jadi bisa saja terorisme itu adalah sebuah gerakan orang lemah melawan ketidakadilan, oleh karena itu sebagian orang bahkan juga barangkali pengikutnya mereka dianggap pahlawan oleh pengikutnya.

"Jadi, bagi pengikutnya mereka dianggap pahlawan, karena kita bicara akademis, ilmiah, karena itu memang saya lihat bahwa memang harus dilihat dalam konteks dalam kacamata psiko politik apakah memang ada sifat-sifat khusus seorang teroris itu, apakah ada karakter khusus seseorang yang disebut dengan teroris itu, lalu bagaimana peran media," sambungnya lagi.

Mantan Anggota Pansus RUU Anti-Terorisme DPR RI ini berpandangan, peran media tidak bisa diabaikan, cukup besar sebenarnya peran media untuk memberikan informasi dan kepada masyarakat terkait bagaimana sel-sel terorisme itu hidup. Sehingga, kalau sosialisasi Empat Pilar MPR RI ini kalau efektif dia akan bisa menangkal penyebaran, pemikiran atau cara berpikir radikalisme yang menjurus kepada arah-arah terorisme.

Namun, Anggota Komisi III DPR ini menyayangkan bahwa sosialisasi Empat Pilar itu belum begitu profesional dan belum terintegrasi dengan lembaga negara lainnya yang juga bertugas untuk melakukan deradikalisasi. Misalnya dengan BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), belum terintegrasi dengan misalnya BNPT (Badan Nasional penanggulangan Terorisme). "Dalam beberapa kali rapat di Komisi III, saya sudah mengajak, mengajak untuk kita bersama-sama, kita punya program yang namanya sosialisasi Empat Pilar, mari kita sama-sama di tengah masyarakat," sesalnya.

Karena, Politikus PKS ini menjelaskan, BNPT tidak memiliki aparatur yang cukup, hanya Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang tidak begitu banyak jumlahnya. Padahal, dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme No. 5/2018 itu diharapkan BNPT itu bisa menjadi suatu organisasi yang mengkoordinasi semuanya. "Jadi narasi-narasi itu dilakukan oleh BNPT, ketika terjadi penangkapan penangkapan maka BNPT punya juru bicara itu harapan saya waktu itu sebenarnya, karena saya ikut dalam pansus dan panja," imbuhnya.

Nasir melihat, sebenarnya sosialisasi Empat Pilar MPR RI itu sangat strategis kalau dilakukan secara baik dan benar. Ia pun pernah mengusulkan pada pimpinan MPR untuk membuat modul sosialisasi dan pelatihan untuk semua level pendidikan. Karena kini sudah tidak ada lagi pembelajaran P4 atau PMP.

"Oleh karena itu memang harus berkolaborasi antara BPIP, MPR RI dengan sosialisasi empat pilar, BNPT, ini kalau saya katakan trisula, trisula maut ini sebenarnya untuk bisa mencegah dan menanggulangi terorisme di Indonesia, walaupun sebenarnya kalau kita bicara lebih luas lagi kita akan lebih luas, maka saya katakan tadi mari kita lihat dalam perspektif politik, kemudian peran media, kemudian juga kemiskinan dan internasional dalam konteks keamanan itu sendiri," pungkasnya.

Sependapat dengan Nasir Djamil, Anggota MPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Sugiono menyebut, gerakan-gerakan terorisme mulai bertransformasi dan masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, bukan hanya melalui jalur jihad, tapi juga jalur dakwah. Terbukti bahwa sejumlah terduga terorisme yang menjabat di organisasi yang tak diduga terafiliasi gerakan terorisme yakni Komisi Fatwa Majelis Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ketua Partai Dakwah.

"Kelompok terorisme ini pada dasarnya merupakan kelompok lemah yang berupaya merongrong kelompok yang kuat. Aksi-aksi yang mereka lakukan ini pada umumnya disebabkan karena ketidakpuasan terhadap situasi. Kemudian lahan yang subur untuk aksi-aksi ini adalah kemiskinan. Di situ ada ketidakadilan pemisah yang terlalu tertinggi antara yang kaya dan yang miskin, itu merupakan lahan yang subur, di mana idealisme atau cita-cita kelompok-kelompok seperti ini, itu bisa tumbuh dan berkembang," katanya.

Ia mengatakan, jadi kalau misalnya ada yang mengatakan bahwa aksi-aksi ataupun kelompok-kelompok terorisme, maka harus tanya dulu siapa? "Kan seperti itu. Kemudian masuk ke dalam unsur-unsur kehidupan berbangsa dan bernegara yang seperti apa," sambung Sugiono. (ry)

 
Top