Faktual dan Berintegritas

Penyerahan cinderamata kepada nara sumber. 

PADANG, SWAPENA -- Peluncuran Buku Restorasi Keadilan Tinjauan Perkara SNI Suap dan Gratifikasi dibedah oleh sejumlah pakar dan akademisi hukum di Aula Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas, Rabu (8/12).

Beberapa akademisi yang menjadi pembedah Prof. Eman Suparman (Unpad), Prof Suteki (Undip), Prof Elwi Danil (Unand), Prof Esmi Warasih Pudjirahayu, Maqdir Ismail (Al Azhar Jakarta) dan Abdul Jamil (UII Jogya) yang menyampaikan secara daring.

"Yang banyak kita bicarakan adalah mengenai kasus penjualan gula non SNI oleh Xaveriandy Sutanto sesuai yang diputus oleh pengadilan," kata Maqdir Ismail saat menyampaikan penilainnya.

Maqdir mengatakan, dalam kasus gula non SNI itu harusnya didahulukan hukum administrasi sebelum penerapan hukum pidana. "Tapi dalam putusan ini dicoba sedemikian rupa untuk meninggalkan perkara administrasi dan membuat ini adalah pidana murni," ujar Maqdir.

Awalnya Xaveriandy Sutanto dihukum 4,5 tahun, kemudian di tingkat Mahkamah Agung dihukum menjadi 2,6 bulan denda Rp1 miliar.

Dikatakan, satu hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah soal gula kristal putih tanpa SNI yang putusannya disita untuk dimusnahkan.

Tanpa adanya penjelasan apakah barang atau gula kristal putih tersebut sudah membahayakan orang atau terbukti membahayakan orang, serta tidak bisa ditunjukkan barang ini berkaitan dengan kejahatan atau digunakan untuk kejahatan.

"Melihat ketentuan KUHAP untuk disita saja mestinya ini tidak memenuhi syarat, apalagi untuk dimusnahkan," ujarnya.

Dikatakannya, dalam perkara tersebut memang sudah pernah dilakukan peninjauan kembali (PK) sebagai upaya hukum luar biasa, namun telah ditolak hakim.

"Karena itu butuh dukungan masyarakat supaya PK kedua diizinkan oleh MA untuk diperiksa, kami melihat putusan sebelumnya tidak sinkron dengan fakta-fakta dan hukum acara juga tidak tepa," katanya.

Dalam kesempatan itu juga dibahas tentang pemberian uang yang dilakukan oleh Xaveriandy Sutanto dan isterinya Memi kepada Irman Gusman sebesar Rp100 juta untuk kuota impor gula.

Oleh putusan di tingkat PK dinyatakan penyerahan uang sebagai gratifikasi, karena melanggar pasal 11 UU Tindak Pidana Korupsi.

Terhadap Xaveriandy Sutanto dan Memi sebagai pemberi uang juga sudah diajukan PK, namun ditolak. "Kita menelisik posisi dimana Sutanto dan istri dianggap sebagai pemberi suap, sedangkan Irman Gusman sebagai penerima uang dikenakan gratifikasi," kata dia.

Sementara Prof. Elwi Danil, mengatakan, jika berangkat dari ketentuan KUHAPidana maka PK hanya satu kali.‎ Namun, ketentuan tersebut telah diuji ke MK, lalu MK memutuskan PK perkara pidana boleh lebih dari satu kali namun tidak boleh lebih dari dua kali.

"Untuk perdata hanya sekali. Alasannya untuk pidana yang dicari adalah kebenaran materil, sementara untuk perdata adalah kebenaran formil," kata Elwi.

Namun, Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran yang melarang menerima PK dua kali, dimana prinsipnya PK dalam perkara pidana hanya satu kali.

"Terjadi conflic of norm di situ. Kalau ditanya ke saya mana yang harus diikuti, maka putusan MK lebih tinggi gradasi hukumnya dari surat edaran MA," kata dia.

Kegiatan bedah buku tersebut juga dihadiri wartawan senior Hasril Chaniago, pengacara, perwakilan kejaksaan, mahasiswa dan lainnya. (do)

 
Top