Faktual dan Berintegritas

 


OBJEK wisata yang menyenangkan itu tidak melulu persoalan keindahan alam, tetapi meliputi banyak faktor. Jika hanya mengandalkan keindahan alam atau panorama belaka, bisa dipastikan pengunjung tidak akan betah. Kalaupun datang, paling sebentar.

Teorinya, objek wisata haruslah memiliki banyak unsur pendukung.  Banyak yang menjadi  unsur pendukung atau penunjang kemajuan objek wisata, antara lain prasarana jalan yang memadai, areal parkir yang cukup, keamanan dan kenyamanan yang terjamin, memiliki fasilitas toilet yang bersih dan representatif, harga makanan yang standar, dan lain sebagainya.

Toilet sebagai hal kecil misalnya, namun sangat besar pengaruhnya bagi pengunjung. Sebab, di antara wisatawan yang datang, ada di antaranya yang ingin buang air atau sekadar cuci muka. Bahkan ketika datang waktu shalat, mereka perlu berwudu dan tempat yang bersih untuk menunaikan kewajiban kepada Allah.

Biasanya, pada hampir seluruh objek wisata toilet (WC) dan  areal parkir adalah fasilitas pendukung yang harus dibayar oleh pengunjung. Tak jarang, di dua hal itu terjadi pungutan liar (pungli).

Dikatakan sebagai pugli, karena rata-rata pengunjung tidak menerima bukti atas apa yang mereka bayar. Misalnya pada suatu objek wisata, setiap kendaraan yang parkir harus membayar  Rp5.000. Lalu, jika ada kendaraan 100 unit saja yang parkir dalam sehari, ke mana uang masyarakat Rp500 ribu yang diperoleh itu? Apakah ada jaminan semuanya masuk ke kas daerah atau pengelola, lantara dipungut tanpa tiket?

Begitu juga dengan sebuah toilet, setiap dipakai pengunjung harus bayar Rp2.000 untuk buang air kecil misalnya, lalu digunakan oleh 100 orang pula dalam sehari. Siapa yang menjamin uang Rp200 ribu dalam sehari diserahkan kepada pemerintah daerah atau pengelola? Sebab, rata-rata toilet yang berbayar tanpa ada bukti untuk dipertanggungjawabkan.

Itu baru sehari. Bagaimana kalau satu bulan, satu tahun, di hari libur besar, di hari raya dan lain sebaginya. Maka berpuluh juta bahkan beratus juta uang masyarakat yang tidak jelas keberadaannya. Apakah itu tidak pungutan illegal namanya?

Namun tidak demikian halnya dengan sejumlah objek wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di kawasan Candi Prambanan misalnya, pengunjung memang membayar Rp2.000 sekali masuk toilet umum untuk buang air kecil, namun diberi karcis. Begitu juga di kawasan Candi Borobudur, keluar dari toilet bayar, lalu pengunjung dikasih karcis oleh petugas yang menjaganya.

Untuk diketahui, toilet kawasan Candi Prambanan dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tlogo, Prambanan. Sedangkan yang di kawasan  Candi Borobudur, toiletnya dikelola oleh PT Taman Wisata Candi Prambanan, Borobudur & Ratu Boko Unit Borobudur. Ini jelas, uang yang didapat dari unit usaha tersebut akan masuk ke kas BUMDes atau ke perusahaan pengelola.

Yang terpenting lagi, para pengunjung tidak merasa bahwa uang sebanyak itu sebagai bentuk korban pungli, melainkan bisa dipertanggungjawabkan. Pengunjung pun menjadi senang, selain karena toiletnya memang bersih, tidak bau dan yang dibayar pun jelas.

Satu hal lagi, para petugas yang terlibat di kawasan wisata mengenakan pakaian seragam, mulai dari penjual karcis di pintu gerbang hingga petugas di toilet dan petugas parkir tentunya. Inilah yang menambah kenyamanan dan keamanan pengunjung selama berada di objek wisata dimaksud

Lalu, bagaimana dengan objek-objek wisata di Sumatera Barat? Jawabannya jelas sudah ada pada para pembaca semuanya.  (Sawir Pribadi)

 
Top