Faktual dan Berintegritas


SEMINGGU terakhir, kabut asap semakin tebal di Sumatera Barat. Langit yang biasa jernih, kini sudah berjerebu. Pekat! Jarak pandang semakin terbatas.

Di masjid atau di tempat-tempat orang banyak berkumpul, sudah ada yang batuk-batuk. Beberapa orang di antaranya dengan kesadaran sendiri mengenakan masker.

Ini adalah salah satu dampak dari kabut asap. Belum ada ikhtiar nyata dari pemerintah daerah untuk mengurangi sebaran kabut asap tersebut. Juga tidak ada instruksi khusus bagi anak sekolah. Buktinya proses belajar mengajar masih tetap dalam kondisi normal. Bahkan, rata-rata anak sekolah tidak bermasker.

Ada yang teringat, Ketika kabut asap mulai menyelimuti Kota Jakarta dan sekitarnya, semua kalang kabut. Berbagai upaya dilakukan dan sejumah analisa hingga saran dari ahli dan non-ahli mengapung ke permukaan.

Karena kabut asap Jakarta itu pula ada razia emisi. Banyak kendaraan bermotor yang terjaring dengan denda ratusan juta rupiah. Bahkan muncul ide bahwa kendaraan yang tidak lolos uji emisi dilarang masuk Jakarta. Apa iya kabut asap atau polusi itu akibat gas kenalpot kendaraan?

Tudingan demi tudingan sebagai penyebab asap di Jakarta bermunculan. Selain karena faktor kenalpot kendaraan, juga Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dituding sebagai penyebab polusi dimaksud. Jika tidak terkesan nyeleneh, mungkin asap dapur, asap rokok, obat anti nyamuk hingga kentut bisa dituding sebagai penyebanya.

Kini kabut asap sudah menyelimuti Sumatera Barat, bro. Apa upaya yang telah dilkukan?  Bukankah dampak kabut asap di daerah ini sama saja dengan dampak yang terjadi di DKI? Atau jangan-jangan kabut asap di Sumbar dan provinsi lain di Sumatera ini dianggap sudah jinak, sehingga tidak membahayakan?

Janganlah begitu! Apa yang menjadi dampak dari kabut asap di DKI juga bisa menyerang manusia-manusia di luar DKI. Bila warga Jabodetabek bisa terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) oleh kabut asap, maka orang sini juga bisa begitu. Bukankah organ tubuh manusia itu sama?

Oleh karena itu, bergeraklah wahai penguasa. Jujurlah dengan mata hati bahwa kabut asap sudah begitu pekat di daerah ini. Jangan sibuk dengan persiapan pemilu saja.

Pun begitu dengan pemerintah daerah, jangan menunggu instruksi pemerintah pusat. Lakukan saja apa yang bisa dilaksanakan segera. Mnunggu perintah dari pemerintah pusat, terkadang seperti menunggu kucing menjemput api, entah kapan tibanya. Bukankah mereka Tengah sibuk? Ya sibuk dengan persiapan pemilu, sibuk dengan penyelesaian target menjelang akhir jabatan dan lain-lain sebagainya.

Negeri ini, sudah berasap bos, maka wahai pengusaha, hentikanlah membakar lahan. Jangan korbankan rakyat banyak demi membuka lahan. Ingat, di antara rakyat yang terdampak mungkin terdapat keluarga kalian, dunsanak atau mungkin juga orang kampung kalian. Maka padamkanlah api di lahan kalian.

Kepada pemerintah secara keseluruhan, lakukanlah tindakan nyata segera. Jika memang harus meliburkan sekolah atau sekolah daring untuk sementara misalnya, lakukan saja. Jangan tunggu korban berjatuhan. Bukankah lebih baik mencegah suatu penyakit ketimbang mengobatinya? Ini Bahasa pemerintah, lho!

Nah, tunggu apa lagi? (Sawir Pribadi)

 
Top