Faktual dan Berintegritas

Oleh: Alirman Sori 

CIRI-CIRI demokrasi pada suatu negara adalah terdapatnya dua bangunan yang sangat penting dalam menata kehidupan demokrasi, yaitu partai politik (parpol) dan pemilihan umum (pemilu) yang diselenggarakan secara langsung, jujur, adil, berkala dan teratur serta melibatkan sebesar-besarnya partisipasi rakyat. Di era modern ini, keberadaan parpol di berbagai negara yang menganut sistem demokrasi menunjukkan peranan yang sangat penting untuk mencapai tujuan politiknya, sehingga parpol berubah menjadi sarana yang penting untuk menyalurkan kepentingan dan aspirasi rakyat  . Di Indonesia, untuk menduduki jabatan politik, seperti Presiden, Wakil Presiden, Anggota MPR RI, DPR RI, DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota harus melalui pengusulan oleh parpol atau gabungan parpol sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (3). 

Di negara demokrasi, parpol bertindak sebagai salah satu pilar yang berpengaruh terhadap kualitas demokrasi dari negara tersebut, seperti proses rekrutmen kepemimpinan dan pejabat publik. Partai politik  menjadi satu-satunya institusi penyedia pemimpin tingkat nasional karena salah satu peran parpol adalah melakukan rekrutmen politik. Dalam perpolitikan nasional, parpol pada umumnya berperan sebagai sarana komunikasi politik (political communication), sosialisasi politik (political socialization), rekrutmen politik (political recruitment), dan pengatur konflik (conflict management). 

Pada kondisi saat ini, fungsi parpol sebagai corong aspirasi dan tuntutan rakyat terhadap pemerintah/penguasa, dapat dikatakan masih sangat lemah, sehingga banyak memunculkan polemik dan mosi tidak percaya masyarakat terhadap parpol yang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya masih rendahnya kualitas mekanisme kaderisasi dan pola rekrutmen di dalam tubuh parpol itu sendiri, bahkan semakin memperkuat munculnya politik kekerabatan dan kader-kader parpol secara instan. Politik kekerabatan dan kaderisasi instan inilah yang merusak kanal dan pola kaderisasi. 

Mekanisme kaderisasi dan pola rekrutmen dari sebuah parpol mencakup semua kegiatan yang diawali dengan penerimaan, pembinaan kualitas, hingga penugasan/penempatan kader-kader parpol pada posisi-posisi strategis di lingkungan parpol. Kader parpol yang berasal dari hasil kaderisasi dan rekrutmen politik akan menentukan “nilai jual” parpol itu sendiri di mata masyarakat. Dengan kata lain, apabila mekanisme kaderisasi dan pola rekrutmen yang baik dari suatu parpol, maka akan melahirkan kader-kader yang berkapabilitas dan berkualitas, demikian pula sebaliknya.  

Umumnya parpol menerapkan dua model kaderisasi, yaitu model kaderisasi untuk anggota parpol dan non anggota parpol. Proses kaderisasi terhadap angggota parpol dilaksanakan oleh parpol itu sendiri secara berjenjang, sistematis, dan dengan jangka waktu tertentu serta dilakukan secara terus menerus. Biasanya proses kaderisasi untuk anggota parpol tersebut telah tertuang dalam dokumen Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) parpol.

 Di Indonesia seringkali proses kaderisasi untuk anggotanya bersifat insidentil menjelang akan berlangsungnya Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Sedangkan proses  kaderisasi non anggota parpol dilakukan oleh suatu parpol melalu organisasi sayapnya (underbow) yang sekaligus menjadi basis perluasan bagi parpol yang bersangkutan. Sebuah organisasi sayap parpol diberdayakan dan dikembangkan oleh parpol sebagai salah satu instrumen penting guna menarik dukungan dan simpati massa. Di samping itu, proses pelembagaan dan relasi parpol dengan organisasi massa (ormas) adalah salah satu metode memperluas basis massa dari segi sumber daya manusia (SDM) dalam proses pengkaderan parpol. 

Kedua model kaderisasi parpol di atas cenderung diabaikan dan tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh parpol itu sendiri. Proses kaderisasi yang tertuang dalam dokumen AD/ART parpol hanya sekedar syarat normatif belaka. Hal ini tentu saja akan mendatangkan banyak sekali permasalahan, salah satunya adalah menguatnya politik kekerabatan yang berpotensi menimbulkan ketimpangan-ketimpangan. Politik kekerabatan akan membatasi akses bagi kader-kader parpol yang mempunyai sumber daya yang sangat terbatas dan tidak mempunyai hubungan kekerabatan untuk meraih posisi-posisi strategis di kancah perpolitikan nasional. Parpol seharusnya membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi para kadernya yang telah meniti karirnya di parpol dari bawah sesuai dengan pola rekrutmen yang telah tercantum dalam dokumen AD/ART parpol. Sebaliknya bagi kader-kader yang mempunyai hubungan kekerabatan erat dapat dipastikan akan mampu menghimpun pengaruh, kekayaan dan juga penguasaan suatu wilayah. Apabila sebuah wilayah telah dikuasai oleh kelompok elit yang berasal dari sebuah kekerabatan, maka sumber daya di daerah akan dikuasai oleh kelompok politik kekerabatan tersebut, sehingga pengelolaannya tidak lagi ditujukan untuk kepentingan dan kebaikan bersama melainkan hanya untuk kepentingan lingkaran elit dalam politik kekerabatan tersebut.  

Selain menguatnya politik kekerabatan, permasalahan dalam kaderisasi parpol banyak diwarnai dengan kemunculan sosok-sosok kader yang instan yang kebanyakan diusung oleh sebuah parpol hanya berdasarkan ketenaran dan popularitas yang dimiliki oleh kader tersebut. Sebagai contoh, banyak parpol yang pada akhirnya mengusung kader-kader yang berasal dari kalangan artis untuk kemudian menduduki posisi dan jabatan strategis dalam perpolitikan nasional, karena ketenaran dan popularitas yang dimiliki oleh kader-kader tersebut mampu memberikan banyak suara dan simpatisan dari masyarakat dalam kompetisi demokrasi. Kehadiran kader-kader instan ini tentu saja tidak melalui mekanisme kaderisasi dan pola rekrutmen yang seharusnya dilalui, sehingga memperjelas adanya ketidakadilan di internal parpol itu sendiri. Kader-kader yang selama ini telah merangkak, mengabdi, berdedikasi, dan meniti karir dari bawah justru menjadi tertutup kesempatannya untuk maju bersaing dengan kader yang lain guna menduduki sebuah jabatan politik strategis atau menjadi pemimpin tingkat nasional. Padahal melalui pembinaan dan proses kaderisasi yang baik oleh setiap parpol, kader-kader ini bukan tidak mungkin akan mampu bersaing dengan kader-kader instan tersebut untuk maju sebagai calon pemimpin nasional dan pimpinan daerah.

Fenomena di atas merupakan lompatan besar dalam dunia perpolitikan sebagai perwujudan konsolidasi demokrasi, yaitu kecenderungan dari parpol mencalonkan orang yang mempunyai popularitas tinggi. Dalam konteks tersebut, kekuasaan seolah menjadi ladang industri yang mengikuti hukum ekonomi, yaitu penawaran bukan berdasarkan pada perjuangan demi kepentingan umum, namun hanya untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan semata. Kurangnya perhatian dari parpol terhadap kader-kader lamanya yang sesuai mekanisme kaderisasi dan pola rekrutmen, berpotensi besar meruntuhkan kekuatan internal parpol itu sendiri. Parpol lebih cenderung mengutamakan kemenangan, serta kurang mempertimbangkan efektivitas kekuasaan jangka menengah maupun jangka panjang, sehingga absurditas dan abnormalitas dukungan politik seringkali dimainkan oleh parpol-parpol besar untuk mengamankan kemenangan dalam sebuah kontestasi demokrasi. 

Kemunculan politik kekerabatan dan kaderisasi instan berkontribusi pada terjadinya serentetan kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan elit-elit maupun kader-kader parpol.  Walaupun, para ketua umum parpol yang terlibat korupsi tersebut tidak berasal dari lingkaran kekerabatan dan kaderisasi instan, fenomena tersebut menyatakan lemahnya kaderisasi parpol dalam mencetak calon pemimpin nasional yang bersih dari korupsi, dan untuk itu diperlukan pengelolaan kader-kader parpol agar mampu menghasilkan pemimpin nasional dan pimpinan daerah yang berkualitas. Selain jajaran elit parpol tersebut, masih banyak lagi kader parpol yang terlibat kasus korupsi.   Selain itu, masih banyak ditemukan para pemimpin nasional dan daerah yang berasal dari parpol maupun non-parpol yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok/golongan/parpol pengusungnya dibandingkan kepentingan rakyat banyak, tidak mampu mewujudkan rasa aman bagi masyarakatnya dengan menebar teror kepada yang vokal mengkritisi kebijakan yang diambilnya, baik melalui penangkapan atau kriminalisasi, dan tidak dapat memberikan keteladanan atau contoh perilaku yang baik kepada masyarakat. yaitu bersih dari KKN, lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi atau golongan, mampu memberikan rasa aman bagi oposisi, dan mampu memberikan teladan/contoh yang baik kepada bawahan dan rakyatnya. Oleh karena itu, partai politik harus konsisten dan berkomitmen serius menyelenggarakan rekrutmen dan kaderisasi yang sesuai dengan mekanisme yang telah diatur dalam peraturan perundangan-undangan, dan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) secara transparan agar dapat melahirkan pimpinan nasional dan pimpinan daerah yang berkualitas, dan berkarakter negarawan. Dengan demikian, kemunculan para pemimpin nasional dan pimpinan daerah melalui suatu proses dan terpilih sosok negarawan yang mempunyai kecenderungan (predisposition) kebutuhan untuk saling membantu satu sama lain melalui hubungan timbal balik yang kuat (strong reciprocity) di tengah  semakin kompleksnya kondisi masyarakat dan penuh dengan segala bentuk ketidakpastian (uncertainty), sulit diprediksi ke depannya (unpredictable), dan diwarnai oleh banyak hal yang tidak dapat diduga sebelumnya (surprised). (*)

 
Top