Faktual dan Berintegritas


APA yang disampaikan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri beberapa hari lalu, mengindikasikan kita  hidup bersama pejabat yang tidak jujur di negeri ini. Betapa tidak, dalam hal pelaporan harta kekayaannya saja sudah berbohong, apalagi persoalan yang lain.

Tentu saja kita bukan memberi vonis, tetapi menganalisa apa yang disampaikan ketua lembaga antirasuah tersebut bahwa  95 persen Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diserahkan para pejabat tidak akurat. Ia juga menyebut masih banyak pejabat negara yang menyembunyikan harta kekayaannya.

Rasanya tidak mungkin apa yang disampaikannya itu sebagai kabar biasa-biasa saja. Sebagai lembaga pemberantas korupsi, tentu Ketua KPK punya data terhadap hal ini. Sebab, setiap tahun, para pejabat memang diwajibkan melaporkan harta dan kekayaannya. Tidak saja milik pribadi sang pejabat, tetapi juga milik keluarga dan anak-anak yang masih menjadi tanggungan pejabat negara bersangkutan.

Ada 95 persen pejabat di Indonesia yang tidak jujur dalam melaporkan harta kekayaannya. Itu artinya hanya 5 persen saja yang bisa dipercaya, khusus terkait harta dan kekayaan mereka.

Pejabat negara yang 95 persen itu selalu saja berusaha menyembunyikan harta kekayaan mereka, mulai dari tanah, bangunan, rekening bank, sampai investasi lain. Ada saja yang mereka sembunyikan dan cara menyembunyikannya pun jelas beragam. Mulai dari memakai nama famili, teman, sahabat dan bahkan orang lain, mungkin termasuk nama sopir, pembantu dan lain sebagainya. Yang terpenting tidak tercium bahwa itu adalah milik sang pejabat bersangkutan.

Agaknya ketidakjujuran dalam hal harta dan kekayaan ini sudah berlangsung lama. Mungkin saja sudah sejak Orde Baru. Bahkan, bisa jadi di masa itu lebih parah lagi dari sekarang. Lalu, siapa pejabat yang bisa dipercaya?

Terkait ini,sama halnya dengan  Ketua KPK Firli Bahuri, kita juga  menyayangkan belum adanya sanksi bagi pejabat negara yang tidak jujur dalam menyampaikan LHKPN. Walau demikian, seharusnya hal itu menjadi kesadaran masing-masing pejabat negara.

Lalu masyarakat bisa berbuat apa? Secara teori mungkin bisa membantu pihak terkait memberi informasi tentang harta dan kekayaan para pejabat, namun praktiknya tentu tidak mudah. Bagaimana masyarakat bisa membuktikan bahwa itu adalah milik sang pejabat. Di sini yang diminta hanyalah kejujuran sang pejabat bersangkutan.

Selain itu, harus ada regulasi yang mengikat, seperti merevisi UU Nomor 28 Tahun 1999, sehingga ada sanksi bagi pejabat negara yang tidak jujur dalam pelaporan harta kekayaan. Sebab, undang-undang 28/1999 tersebut hanya mengatur sanksi administratif bagi pejabat yang mangkir dan tidak jujur melaporkan kekayaan mereka.  (Sawir Pribadi)

 
Top