Faktual dan Berintegritas

 



SEKOLAH negeri dilarang mengatur seragam siswa berdasarkan agama. Begitu antara lain isi dari Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, beberapa waktu lalu.

Banyak yang kaget dengan lahirnya SKB 3 menteri tersebut. Bahkan masyarakat dan kalangan ulama di Sumatera Barat langsung bereaksi. Sebab, kelahiran SKB tersebut hanya hitungan hari saja dari peristiwa yang terjadi pada salah satu SMK di Kota Padang.

Ada yang cukup menarik, pemerintah pusat  begitu 'bersemangat' dan cepat untuk segera melahirkan SKB dimaksud. Padahal soal 'paksa - larang' terhadap pakaian anak sekolah sudah pernah terjadi di daerah lain sejak dahulu.  Misalnya terjadi di SD 22 Wosi, Manokwari, Papua Barat yang pelajarnya dilarang mengenakan jilbab. Sebelum-sebelumnya lagi pernah pula terjadi di Bali dan atau di daerah lain.

Lalu, mana otonomi daerah yang diperkaya dengan kearifan lokal?   Akankah ia akan ikut 'terkubur' bersamaan dengan adanya larangan pemerintah daerah dan sekolah untuk mengatur pakaian keagamaan di sekolah negeri serta dicabutnya aturan yang telah dibuat selama ini? Kita tentu tidak berharap hal-hal demikian. Yang jelas, sejumlah daerah bereaksi atas kelahiran SKB 3 Menteri tersebut, termasuk di Sumatera Barat.

Perlu diketahui, kearifan lokal Sumatera Barat ditopang dengan filosofi  'Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Syarak Mangato Adaik Mamakai'. Apa yang dilakukan senantiasa bersandar dan berpedoman pada filosofi tersebut. Makanya salah satu kearifan lokal itu terlihat pada pakaian yang dikenakan masyarakatnya, termasuk pada peserta didik. 

Di Sumatera Barat yang dikenal dengan budaya Minangkabau, kaum perempuannya senantiasa berpakaian yang menutup aurat. Karena agama Islam memang memerintahkan untuk menutup aurat. Bagi kaum perempuan Islam aurat itu dari puncak kepala atau ujung rambut sampai ujung kaki, kecuali muka dan telapak tangan. Makanya kaum perempuan Minang senantiasa mengenakan jilbab dalam berbagai aktivitas, termasuk anak sekolah.

Masyarakat khawatir hal itu akan menjadi 'korban'  dengan keberadaan SKB dimaksud, makanya ada reaksi. Sebab, ketiga menteri tersebut melarang pemerintah daerah serta sekolah negeri mengatur seragam maupun atribut siswa yang berkaitan dengan kekhususan agama. Bahkan, Mendikbud mengancam jika dalam 30 hari ke depan sekolah atau pemerintah daerah tidak mencabut aturan berpakaian keagamaan di sekolah negeri diberi sanksi. Salah satu sanksinya adalah tidak diberi lagi dana bantuan operasional sekolah (BOS).

Terkait itu, pemerintah pusat perlu menjelaskan secara gamblang tentang saripati dari SKB tersebut. Jangan ada yang disembunyikan dan jangan ada dusta di antara kita agar semua masyarakat paham dan tidak salah tafsir. Jika tidak segera dijelaskan, ini berpotensi menimbulkan persoalan baru nantinya.

Mudah-mudahan saja kekhawatiran masyarakat itu tidak terjadi. Semoga pihak-pihak berkompeten dan pengambil kebijakan di tingkat pusat mampu menginterpretasikan reaksi masyarakat Minangkabau tersebut. 

Ada yang perlu dipahami, pendidikan kita tidak saja untuk membuat pintar anak-anak dan generasi, tapi juga bertakwa kepada Tuhan, berbudi pekerti  luhur dan berbudaya. Karenanya pemerintah berkewajiban menanamkan nilai-nilai religi serta budaya kepada generasi muda. Apa jadinya negeri ini ke depan jika generasi mendatang lupa atau tidak lagi tahu dengan nilai-nilai agama, budi pekerti dan budaya. (Sawir Pribadi)

 
Top