Faktual dan Berintegritas


PELAJAR yang berada di zona hijau dan kuning sebagian sudah memulai aktifitas belajar dengan pola tatap muka. Tentu saja dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat. Itu pun ada yang menjadi bencana bagi pelajar dan sekolah bersangkutan.

Sebaliknya sebagian besar lainnya masih melakukan proses belajar mengajar (PBM) dengan sistem dalam jaringan (daring). Biasa juga disebut dengan belajar jarak jauh.

Selama belajar daring, berbagai penderitaan dirasakan oleh pelajar. Mulai dari ketiadaan perangkat android sampai ketiadaan signal dan uang pembeli paket internet.

Demi bisa belajar jarak jauh itu, di antara orang tua ada yang terpaksa utang kiri dan kanan. Ada yang mengurangi jatah belanja dapur dan lain sebagainya. 

Untuk satu, dua atau tiga kali pengisian paket data agaknya masih bisalah para orang tua batenggang kepada tetangga atau ke dunsanak lainnya, atau bahkan mungkin mengirit belanja dapur dan lain sebagainya. Tapi kalau terus-menerus, jelas tidak mungkin.

Di sejumlah daerah, anak-anak sekolah terpaksa mencari sinyal ke tempat-tempat yang tinggi. Bahkan ada yang terpaksa belajar bersama di pondok sawah hingga areal pemakaman dan lain sebagainya. Di sini ada lagi potensi musibah, yakni tidak bisa menjaga jarak. Jika dalam suatu tempat sudah lebih dari lima orang anak, diyakini mereka lupa akan protokol kesehatan, termasuk memakai masker tentunya. Kalau sudah begini, kenapa tidak sebaiknya belajar saja di dalam kelas?

Tidakkah iba melihat kondisi anak-anak miskin begini? Setiap orang akan gampang bilang 'kasihan'. Tapi yang diperlukan oleh para pelajar kita saat ini bukan kalimat itu. Yang mereka butuhkan adalah aksi atau aplikasi nyata dari pernyataan kasihan itu.

Siapa yang bisa membantu anak-anak sekolah dimaksud? Jawabnya banyak. Salah satu di antaranya adalah pengurus masjid. Caranya?

Gampang, asal mau! Pasanglah wifi di seluruh masjid yang ada di Sumatera Barat ini, maka diyakini tidak akan ada lagi pelajar yang mengeluh lantaran tidak punya paket data untuk belajar jarak jauh. 

Percaya atau tidak, masjid-masjid yang ada di daerah ini punya kas yang tidak sedikit. Tiap hari infak dan sedekah mengalir, kenapa tidak mau membantu anak-anak sekolah yang merupakan anak dan kemenakan para jemaah masjid juga.

Memasang wifi di masjid dan dipergunakan oleh anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu adalah ibadah bagi pengurus masjid. Selain itu, langkah demikian sebagai upaya mengikat hati generasi muda untuk senantiasa di masjid. Setidaknya selama proses belajar mengajar mereka akan berada di masjid, sehingga bisa pula menunaikan shalat Zuhur berjamaah.

Lalu akan ada kekhawatiran dari pengurus masjid bahwa kas akan terkuras untuk pembelian wifi. Ingat, membangun Islam itu bukan cuma dilihat dari bangunan masjid yang megah, tapi juga dari manusianya. Atau ada keraguan, semua orang di sekitar masjid akan 'menumpang' saja dengan wifi gratis dimaksud?

Ini adalah soal teknis penggunaannya saja. Setiap masjid punya pengurus dan juga punya garin. Apa salahnya tugas garin ditambah dengan menghidupkan dan mematikan wifi setiap hari. Atau juga mengganti kata sandi wifi tiap hari.

Misal, wifi dinyalakan mulai pukul 08:00 atau sama dengan jam belajar anak-anak. Setelah selesai, dimatikan. Untuk esok harinya ganti password. Apa susahnya itu?

Selain itu, khusus yang ada di nagari-nagari, alangkah terhormatnya pemerintah nagari atau desa yang menyediakan wifi gratis untuk anak-anak setempat. Polanya sama saja dengan masjid, yakni hidup dan matinya berdasarkan jadwal belajar saja.

Marilah kita persamakan masa depan anak-anak bangsa ini. Ingat, ini adalah musibah. Biasanya musibah menggugah rasa kedermawanan kita. Ini juga perjuangan bersama untuk bangsa dan negara ini. Bukankah para pahlawan kita secara bersama-sama mencapai kemerdekaan? Masa sudah 75 tahun merdeka, kita tak juga mau berkorban untuk membantu anak-anak bangsa dalam masa darurat ini. (Sawir Pribadi)

 
Top