Faktual dan Berintegritas

 

Fahira Idris 

JAKARTA, Swapena — Di tengah bergulirnya rencana revisi Undang-Undang (UU) Pemilu, rangkaian gelaran pilkada serentak kembali menjadi polemik dan diskursus publik. Baik Pemerintah, partai politik, dan publik memiliki pandangan yang berbeda-beda menyikapi wacana normalisasi pilkada pada 2022 dan 2023. Ada yang mendukung pilkada digelar pada 2022 dan 2023 sesuai masa berakhirnya jabatan kepala daerah terpilih pilkada 5 tahun sebelumnya, tetapi ada juga yang berpandangan dan menginginkan Pilkada 2022 dan 2023 disatukan penyelenggaraannya pada 2024 atau beberapa bulan setelah Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 digelar.  

Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, berbagai perbedaan pandangan dan polemik soal normalisasi Pilkada 2022 dan 2023 dan penyatuan gelaran pilkada pada 2024 hendaknya dibingkai dari sisi kualitas dan efektivitas.

“Pihak-pihak yang menginginkan pilkada digelar di 2024 atau di tahun yang sama dengan pileg dan pilpres harus mempunyai argumen yang objektif, rasional dan konsisten bahwa jika pileg, pilpres, dan pilkada digelar di tahun yang sama, efektivitas dan kualitasnya lebih baik dibanding jika digelar pada 2022 dan 2023. Termasuk sejauh mana kesiapan penyelenggara (KPU, Bawaslu, DKPP), kesiapan pengamanan, anggaran, dan lainnya,” ujar Fahira Idris dalam keterangan tertulisnya, Minggu (31/1).

Selain itu yang perlu diperhatikan dan dijelaskan adalah jaminan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan di ratusan daerah yang harus dipimpin oleh pejabat sementara bila pilkada dilakukan secara serentak pada 2024. Pejabat sementara harus menggantikan kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2022 dan 2023. Sebab mereka harus mengisi kekosongan pemimpin daerah hingga pilkada dilakukan serentak pada November 2024.

Argumen yang objektif, rasional dan konsisten juga harus menjadi acuan pihak-pihak yang mendukung bahwa normalisasi pilkada pada 2022 dan 2023 atau sesuai siklus lima tahunan serta setuju pilkada serentak nasional akan digelar pada 2027 akan lebih efektif dan berkualitas dibanding jika harus dipaksa disatukan pada 2024.

“Saya amati persoalan dan polemik jadwal pilkada ini sudah merambat ke mana-mana terutama dikaitkan dengan kontestasi di 2024. Oleh karena itu, efektivitas dan kualitas harus jadi acuan. Mereka yang yakin pilkada digelar 2024 atau di tahun yang sama dengan pileg dan pilpres harus mampu yakinkan publik bahwa ini adalah pilihan yang rasional, karena jika tidak objektif maka akan mendapat penolakan dari publik. Demikian juga sebaliknya, mereka yang mendukung normalisasi pilkada juga paparkan alasan yang objektif. Jangan lupa juga, pendapat dan pandangan publik soal jadwal pilkada ini harus menjadi acuan utama baik bagi Pemerintah, DPR, maupun partai politik. Karena sejatinya, rakyat lah yang menjadi aktor utama gelaran pemilu dan pilkada,” pungkas Fahira. (rls)

 
Top