Faktual dan Berintegritas


DALAM suatu tugas ke Kota Bukittinggi, Sabtu (18/7), saya sempat mampir di kawasan Jam Gadang yang kata orang sudah benar-benar rancak. Jarum jam baru menunjukkan pukul 16.00.

Selepas numpang parkir di depan Gedung Tri Arga, saya dan sejumlah kawan menikmati keindahan Jam Gadang sebentar. Jepret, kamera android pun melayang dengan fokus ikon pariwisata Kota Bukittinggi tersebut. Juga tak lupa berselfie, sebagai bukti berkunjung ke kota itu. Mana tahu ada yang bertanya, sudahkah ke Bukittinggi sejak era corona ini? Maka jawabnya adalah foto itu!

Hanya beberapa menit saja, selanjutnya melangkahkan kaki ke Pasa Lereng. Tujuan utama tentulah los lambuang yang terkenal dengan nasi kapau. Makan siang tidak, makan malam pun bukan. Hanya untuk melengkapi kunjungan ke Bukittinggi saja.

Dari Taman Jam Gadang terlihat pengunjung sangat ramai. Tembok dan tangga-tangga di Pasa Ateh yang baru itu dipenuhi orang-orang yang duduk sambil bercengkerama dan berfoto-foto. Mungkin karena libur akhir pekan, makanya begitu ramai.

Terserahlah, kenapa ramai, yang jelas Bukittinggi memang begitu sejak dulu-dulunya lagi. Kalau sudah akhir pekan, pengunjungnya pasti ramai. Pengunjung tidak saja datang dari berbagai kabupaten/kota di Sumatera Barat, melainkan juga dari sejumlah provinsi tetangga, seperti Riau, sebagian Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu dan lainnya hingga Pulau Jawa juga.

Soal Jam Gadang tambah rancak, pusat perbelanjaan Pasa Ateh yang terlihat megah atau nasi kapaunya yang lamak ditambah rayuan para pedagang untuk membeli dagangan mereka yang memikat, itu hal biasa. Memang begitulah Bukittinggi.

Yang tidak biasa dalam pikiran saya ketika itu adalah kebanyakan orang seperti dalam keadaan normal-normal saja. Padahal, sekarang adalah masa pandemi Covid-19. Sudah lebih 800 orang yang positif di Sumbar dan 33 orang yang meninggal dunia.
 
Pemerintah telah menetapkan protokol kesehatan selama masa pandemi ini, salah satu di antaranya mengenakan masker saat berada di luar rumah. Yang saya saksikan dalam rentangan waktu sekitar 45 menit saat berada antara Jam Gadang dengan Pasa Lereng itu sungguh bertolak belakang dengan apa yang diatur pemerintah. Tidak banyak pengunjung yang memakai masker. Kalau pun ada yang menggunakan masker, itu pun bisa diterka, mereka adalah para pendatang.

"Ngeri saya melihat kondisi begini," ujar seorang teman bernama Zul.

Bisa dimengerti kengerian teman saya itu, karena penularan virus corona menurut para ahli adalah dari percikan ludah atau droplet. Para pedagang yang berteriak "a bali Pak, a bali Buk, masuaklah minantu," dan seterusnya dipastikan mengeluarkan droplet. Lebih mengerikan lagi jika yang menyapa pengunjung adalah pedagang makanan seperti pedagang nasi kapau yang letak aneka lauknya lebih rendah daripada mereka berdiri.

Terkait kenyataan itu, Sekretaris Daerah Kota Bukittinggi, Yuen Karnova yang dihubungi Minggu (19/7) melalui telepon selulernya mengakuinya. Ia pun berjanji akan menertibkannya. "Benar, kita akan tertibkan," jawab dia. (Sawir Pribadi) 
 
Top