Faktual dan Berintegritas

Oleh : Sawir Pribadi  

Kata 'mada' akhir-akhir ini agak bersipongang di Sumatera Barat. Artinya tidak patuh. Kata itu mengalir seiring dengan mengalirnya virus corona atau Covid-19 di daerah ini.

Setuju atau tidak virus itu kini telah mengalir tak terbendung. Data terakhir, hingga Minggu siang kemarin sudah 44 orang yang dinyatakan positif terpapar virus Covid-19 tersebut. Dari jumlah sebanyak itu, 30 orang di antaranya terdapat di Kota Padang.

Kata 'mada' terucap ketika melihat orang-orang atau masyarakat yang belum atau tidak mematuhi anjuran pemerintah. Misal, masih banyak yang hilir mudik di jalan, belum menggunakan masker, masih melakukan shalat berjemaah hingga Shalat Jumat, padahal MUI dan pemerintah sudah sepakat menghentikan sementara hingga situasi dan kondisi mendukung. Ada yang  beramai-ramai di kafe, warung, duduk rapat di angkutan umum, berdesakan di pasar dan seterusnya. Bisa ditegaskan, mereka bukan 'mada'. Bukan tidak patuh.

Masyarakat yang terlihat belum atau tidak mematuhi imbauan dan anjuran pemerintah itu pasti punya alasan yang menurut mereka masuk akal. Memang, mungkin banyak di antaranya yang masuk akal. Misal, mereka belum paham dengan situasi dan kondisi yang terjadi sekarang.

Ketika masyarakat dianjurkan tidak shalat berjemaah atau bahkan Shalat Jumat, tetapi tidak ada anjuran untuk menutup pasar. Masyarakat dibiarkan berdesakan di pasar, tapi 'dilarang' shalat berjemaah. Masuk akal, bukan?

Selanjutnya tentang pemakaian masker. Masyarakat sadar bahwa memakai masker bisa menghindari diri dari serangan virus atau partikel-pertikel mikro lainnya. Mereka mau memakai masker, tetapi tidak punya. Tidak ada stok di apotek dan kalaupun ada, harganya mahal.

Oh, sekarang kan sudah banyak yang menjual masker di berbagai tempat. Benar! Tapi dengan apa mau dibeli? Masyarakat dihadapkan pada pilihan membeli beras atau masker? Membeli sayur, garam, belacan, gula, kopi, anti nyamuk atau masker? Membeli paket internet untuk anak-anak yang belajar jarak jauh atau masker? Inilah dilema masyarakat.

Lalu, apakah masyarakat 'mada'? Yang bersikap begitu tentu juga ada. Namun setidaknya begitulah alasan-alasan masyarakat yang belum atau tidak patuh terhadap imbauan pemerintah.

Kita yakin, semua orang pasti takut tertular oleh virus-virus yang mematikan itu. Jangankan oleh Covid-19 yang sudah terbukti membunuh ribuan manusia di berbagai negara, dengan kuman saja masyarakat dipastikan takut.

Lalu, apa akal kita lagi? Pemerintah harus memahami hal itu. Jika memang dianjurkan atau bahkan disuruh untuk tidak shalat berjemaah dan Shalat Jumat, maka sebaiknya lakukan pula aturan itu terhadap pasar. Yang dibolehkan cuma pedagang kebutuhan dapur saja, tapi harus diatur jarak mereka dan lengkapi dengan masker serta sarung tangan dari plastik dan lain sebagainya. Atur pula muatan angkutan umum, jika perlu sampai ke kendaraan pribadi dan lain sebagainya.

Sekarang, jika masih ada di antara masjid yang menggelar shalat berjemaah dan Shalat Jumat, terutama di wilayah yang masih aman, sebaiknya pemerintah juga hadir di sana. Berikan pemahaman. Semprot dulu dan siapkan bilik disinfektan di gerbang masjid, siapkan keran cuci tangan dengan sabun beberapa unit, ukur suhu tubuh jemaah, pakai masker, atur shaf dengan jarak tertentu, khutbah sekadarnya, tidak panjang, bacaan ayat imam pun pendek-pendek. Bahkan jika perlu jemaah memakai plastik anti hujan, sebagaimana yang dipakai pengendara motor.

Petugas untuk itu tidak mencukupi? Hal itu agaknya bisa diatasi, dengan hanya 'menghidupkan' beberapa masjid saja. Jika di suatu kelurahan ada 4 masjid, cukup 2 saja yang menggelar Shalat Jumat.

Satu hal lagi, masjid pun bisa dijadikan sarana untuk mensosialisasikan segala kebijakan pemerintah. Misal, dengan pengeras suara dari masjid akan bisa diimbau masyarakat untuk tidak keluar rumah apabila tidak sangat penting. Jika penting betul keluar seperti membeli keperluan dapur, beli obat dan lainnya, pakai masker dan sejenisnya.

Selama ini, dengan tidak adanya shalat berjemaah di masjid, berbagai bentuk kebijakan pemerintah banyak yang tidak sampai ke masyarakat. Bukankah dari dulu masjid juga sebagai basis perjuangan? Sekali lagi, hal itu hanya berlaku untuk kawasan yang belum punya penderita positif Covid-19.

Mari kita bersama-sama memutus rantai penularan Covid-19 tersebut dengan mematuhi arahan pemerintah. Tetap di rumah, jaga jarak dan gunakan masker jika harus keluar rumah juga.

Khusus dunsanak di rantau, tundalah pulang kampung dulu hingga sikon aman. Sebaliknya, jika tak bisa ditunda pulanglah, namun patuhi protokol kesehatan dari Kemenkes. Lakukan isolasi diri selama 14 hari. Jangan bohongi diri sendiri, keluarga dan orang lain. Mudah-mudahan, badai corona ini cepat berlalu dan kita memasuki bulan suci Ramadhan tanpa beban. (*)
 
Top